Sebanyak 701 orang dari sejumlah daerah dipertemukan untuk pertama kali, Sabtu (1/10), di Jakarta. Kebersamaan mereka itu untuk saling memberi semangat. Mereka adalah para penyintas kanker payudara.
Dalam rangka Bulan Kanker Payudara Dunia yang diperingati setiap Oktober, Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) mempertemukan ratusan penyintas kanker payudara dari sekitar 50 daerah di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta. Pertemuan itu mengusung tema "Bersatu Melawan Kanker Payudara".
Demi pertemuan itu, mereka rela menempuh perjalanan hingga ratusan kilometer dengan biaya sendiri. Kemampuan fisik yang terbatas karena belum sepenuhnya pulih dari kanker tak menghalangi mereka untuk datang dan berbagi informasi.
Penderita kanker payudara stadium tiga, Dede Suryani (42), warga Karawang, Jawa Barat, misalnya, tiba di acara itu seorang diri, pukul 08.30. Ia duduk di deretan kursi paling belakang. Di sebelahnya ada seorang penyintas kanker payudara asal Surabaya, Jawa Timur, yang telah melewati masa operasi lebih dari lima tahun, atau disebut penyintas. Mereka pun saling bertukar informasi tentang kondisi kesehatan dan terapi yang dijalani.
Dede divonis menderita tumor ganas di bagian kanan payudara pada Desember 2015. Kedatangannya ke pertemuan itu didorong keinginan mendengarkan pengalaman sesama penyintas kanker.
Selama ini, ia kurang mendapat informasi tentang proses yang harus dilaluinya setelah kemoterapi. Minimnya informasi yang diperoleh membuat ia kesulitan aktif bertanya kepada dokter spesialis bedah onkologi yang menanganinya.
"Saya mau bertanya kepada sesama penderita, apa saja yang mereka lalui. Dari pengalaman mereka, saya akan mengonfirmasi informasi itu kepada dokter," ujar Dede yang berobat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta.
Dari kenalan barunya asal Surabaya itu, ia mendapat informasi terkait program apa saja yang perlu ia jalani setelah kemoterapi. Meski nantinya tak lagi perlu kemoterapi, Dede diingatkan agar rutin mengontrol kesehatannya satu bulan sekali.
Pertemuan itu juga mengingatkan dirinya bahwa ia bukan satu-satunya penderita kanker payudara. "Ternyata saya enggak sendirian. Melihat ratusan penderita lain bersemangat, saya ketularan semangat sampai lupa kalau lagi sakit," ujarnya.
Sementara Rina (44), warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ketakutan saat divonis terkena kanker payudara pada 2008. Karena takut, ia memilih pengobatan alternatif dibandingkan operasi. Ibu rumah tangga ini akhirnya memutuskan menjalani operasi di Palangkaraya pada 2009 saat sakit yang diderita tak tertahankan.
Hingga kini, ia rutin memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit Onkologi Surabaya. Ia juga aktif di komunitas penyintas kanker payudara di rumah sakit itu.
Pengalaman itu ingin ia bagikan kepada sesama penderita kanker payudara agar mengambil langkah cepat dan tepat. Ketakutan yang ia rasakan delapan tahun lalu disebabkan kurangnya pengetahuan terkait bahaya kanker payudara dan cara menanganinya.
Saat mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan itu, Rina memutuskan terbang dari Banjarmasin sehari sebelum pertemuan dan menginap di hotel tempat acara berlangsung agar tak terlambat. "Mudah-mudahan pengalaman dan semangat saya bisa ditularkan kepada penderita lain. Saya berharap pengalaman saya mendorong perempuan lain lebih peduli kesehatannya," tuturnya.
Pendekatan komunitas
Dalam pertemuan itu, penyintas kanker payudara mendapat pembekalan tentang gaya hidup sehat dari dokter spesialis bedah onkologi dari RS Kanker Dharmais, Jakarta, Walta Gautama. Para penyintas diingatkan tentang pentingnya memeriksa payudara sendiri.