KOMPAS.com - Ada-ada saja tren sosial media, terutama di kalangan remaja atau anak muda. Sebagian besar kreatif dan bermanfaat, tapi beberapa ada juga yang mengundang bahaya seperti yang sedang booming saat ini, #SkipChallenge.
Sebenarnya, 'permainan' ini sudah lama ada, di berbagai negara termasuk Indonesia. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa sudah banyak korban tewas karenanya.
Skip challenge atau passout challenge memiliki beberapa versi. Permainan ini mirip dengan choking challenge. Intinya, menekan jalan napas atau aliran darah sejenak kemudian dibuka kembali. Tujuannya, untuk mendapat sensasi "high".
Kembali bicara tentang bahaya permainan ini, tahun kemarin, tepatnya tanggal 21 Maret 2016, seorang anak usia 11 tahun bernama Da'Vorius Gray tewas di toilet rumahnya sendiri di California.
Sang Ibu, Latrice Hurst, mengatakan bahwa sebelum tewas, sang anak kedapatan sedang mengakses saluran online mengenai passout dan choking challenge. Mungkin, lalu Gray meniru apa yang dilihatnya di internet.
Sebelum Gray, ada Erik Robinson usia 12 tahun, juga tewas di ruang tamu rumahnya setelah bermain #SkipChallenge.
Lalu ada Karnel Haughton asal Birmigham Inggris, juga tewas karena permainan yang dianggap lucu namun tidak lucu ini. Ada juga Kimberly Wilson usia 15 tahun asal Lawrence dan masih banyak lagi.
U.S. Centers for Disease Control and Prevention menyatakan, sepanjang 1995-2007 saja, ada 82 media di AS yang melaporkan kematian karena #SkipChallenge.
Mereka percaya, jumlah ini hanya puncak gunung es. Korban yang tidak terlacak jauh lebih banyak dan terus bertambah seiring waktu. Sedangkan situs berita Daily Mail menyebut, setidaknya ada 100 remaja tewas di AS pada masa itu akibat permainan maut ini.
Dokter anak asal AS, Dr. Michael McKenna mengatakan #SkipChallenge dan choking challenge mengubah denyut jantung secara drastis.
"Mereka memotong asupan oksigen ke otak, menyebabkan orang pingsan dan mengalami euforia "high" dalam prosesnya, kata Dr McKenna.
McKenna juga memperingatkan bahwa #SkipChallenge dapat menimbulkan dampak jangka panjang.
"Kapan saja Anda bermain-main dengan pasokan oksigen ke otak, artinya Anda menempatkan diri pada risiko ekstrim. Apakah itu risiko kematian atau risiko kerusakan otak permanen," kata Dr McKenna.
Dr Thomas Andrew, ketua medis New Hampshire mengatakan, mengajar anak-anak dan remaja tentang bahaya permainan, harus menjadi bagian dari program pemerintah dan masyarakat manapun, sama seperti penanggulangan obat-obatan terlarang, alkohol dan perilaku seksual berisiko.
Andrew menunjuk salah satu studi yang mengatakan, 40 persen anak-anak di Texas dan Kanada tidak melihat bahaya permainan ini. Bukan mustahil bahwa anak dan remaja di Indonesia juga tidak tahu bahayanya #SkipChallenge.
Ini saatnya orangtua terbuka pada anak mengenai bahayanya pengaruh sosial media, bahwa anak tidak boleh menirunya mentah-mentah.
"Bicarakan pada anak mengenai risiko yang mungkin mereka hadapi dari skip challenge," saran Dr. Andrew.
Di Indonesia, para remaja banyak yang ikut-ikutan melakukan #SkipChallenge ini karena dianggap sebagai pengalaman yang menegangkan dan menyenangkan. Mereka kemudian membagikan rekaman #SkipChallenge di media sosial agar menjadi viral.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.