Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

3 Cara Agar Tak Menjadi "Toxic Parents", Kaum Milenial Wajib Tahu

KOMPAS.com - Umumnya, pasangan yang telah menikah berharap dikaruniasi seorang anak.

Sayangnya, banyak orang yang tak menyadari bahwa pola asuh yang mereka terapkan justru memberi pengaruh buruk pada sang anak.

Dalam istilah masa kini, orangtua yang memberi dampak buruk pada anak kerap disebut dengan toxic parents.

Menurut psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, anak korban toxic parents bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri, terlalu cemas dengan orang lain, sulit mengambil keputusan bahkan mengalami depresi.

Kabar buruknya lagi, efek tersebut bisa bertahan hingga sang anak berusia dewasa.

"Cukup banyak anak korban toxic parents yang mengalami depresi hingga usia dewasa. Mereka juga berpotensi menjadi orang yang toxic untuk pasangan atau anak-anaknya kelak," tambah Anna.

Melihat efeknya yang begitu besar, tentu kita tidak ingin anak-anak kita kelak mengalami hal buruk tersebut.

Sebagai calon orangtua, kita harus benar-benar memahami langkah-langkah penting agar kita tidak menjadi toxic parents di masa depan. Berikut tips agar kita tidak menjadi toxic parents:

1. Mencari pola pengasuhan ideal

Menjadi orangtua memang bukan tugas yang mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa dilakukan.

Untuk menemukan pola asuh terbaik dalam mendidik anak memang diperlukan proses belajar yang lama.

Menurut Anna, hal ini bisa dilakukan dengan mempelajari cara menganalisa sisi positif dan negatif pola asuh orangtua kita terdahulu, membaca buku-buku parenting, atau berkonsultasi dengan ahlinya.

Selain itu, membangun kedekatan yang positif antara orangtua dan anak juga diperlukan dalam setiap pola asuh.

"Kedekatan antara orangtua dan anak itu penting namun ada batasannya. Jangan sampai, kita terlalu menempel dengan anak sehingga anak merasa terkekang," ujar Anna.

Anna juga mengatakan, seorang anak juga adakalanya memerlukan waktu untuk diri sendiri atau bersosialisasi dengan teman-temannya. Sebagai orangtua, kita juga harus memahami hal itu.

Orangtua juga tidak boleh segan meminta maaf pada anak saat melakukan kesalahan dan memuji sang anak saat ia melakukan hal baik.

2. Mencermati sisi positif dan negatif orangtua

Kita harus menyadari bahwa setiap orang pasti memiliki sisi positif dan negatif, termasuk orangtua kita.

Oleh karena itu, Anna menyarankan agar kita memberanikan diri untuk mencermati sisi positif dan negatif orangtua kita.

"Seburuk-buruknya orang pasti ada sisi baiknya, termasuk orangtua kita. Jadi, kita jangan hanya fokus pada sisi buruknya. Ambil sisi baiknya dan kita contoh untuk bekal menjadi orangtua di masa depan," ujar Anna.

Anna juga menambahkan bahwa kita bisa memandang sisi negatif orangtua sebagai bahan pelajaran agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama di masa depan.

"Bagi mereka yang sudah lama hidup dengan toxic parents, hal ini memang sulit dilakukan dan perlu bantuan psikolog klinis agar mereka efeknya tidak berdampak untuk pernikahan mereka nantinya," ucap Anna.

3. Lakukan konseling sebelum menikah

Konseling pranikah adalah hal penting bagi pasangan yang memutuskan untuk menikah. Anna mengatakan, konseling pranikah juga membantu pasangan yang akan menikah untuk mengatasi konflik dalam dirinya.

Di dalam konseling pranikah, psikolog akan memberikan berbagai macam pemeriksaan dan penanganan.

Hal tersebut bertujuan agar pasangan yang akan menikah tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan orangtua mereka atau agar hal-hal traumatis dan konflik yang pernah dialami tidak memberi dampak ke pernikahan.

"Sebenarnya, konseling pranikah itu tidak melulu soal pasangan. Hal terpenting dalam konseling tersebut adalah kondisi personal calon pengantin," tambah Anna.

Anna juga menambahkan, setiap calon pengantin perlu melakukan konseling karena dikhawatirkan memiliki konflik internal atau masalah pribadi yang akan menganggu pernikahannya kelak.

"Banyak orang tidak sadar memiliki konflik pribadi dalam dirinya. Ini nanti bisa berpengaruh pada kondisi rumah tangganya, dan konflik internal yang cukup menganggu pernikahan adalah toxic parents," ujar Anna.

Menurut Anna, orang yang di masa lalunya juga korban toxic parents bisa berisiko menjadi toxic untuk anak-anaknya kelak.

Dengan melakukan konseling sebelum menikah, hal ini akan membantu calon orangtua untuk mengatasi trauma atau konflik-konflik yang ada dalam dirinya.

https://health.kompas.com/read/2020/03/02/060000968/3-cara-agar-tak-menjadi-toxic-parents-kaum-milenial-wajib-tahu

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke