Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

4 Mitos Keliru Mengenai Penyakit Paru Obstruktif Kronis

KOMPAS.com - Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) seringkali membuat penderitanya susah bernapas. Penyakit ini memang memengaruhi saluran dan kantung udara.

Penyakit ini biasanya dipicu oleh emfisema dan bronkitis. Emfisema menyebabkan kantung udara di paru-paru rusak secara perlahan sehingga aliran udara ke luar tubuh terganggu.

Sedangkan bronkitis menyebabkan peradangan dan penyempitan saluran bronkial, yang menyebabkan pembentukan lendir.

Ada banyak mitos beredar mengenai penyakit ini, yang membuat banyak pasien terlambat mendapatkan perawatan yang tepat.

Menurut ahli paru dari Cleveland Clinic, Kathrin Nicolacakis, berikut empat mitos umum mengenai PPOK:

1. Hanya perokok yang bisa mengalami PPOK

Menurut data Healthline, penyakit paru obstruktif kronis seringkali disebabkan oleh gaya hidup merokok.

Namun, orang yang tak merokok pun juga bisa mengalami penyakit ini.

Data dari National Institutes of Health AS pun menyebut 42 persen penderita PPOK adalah mantan perokok, 34 persen adalah perokok pasif, dan 24 persen sisanya adalah orang yang tidak pernah merokok.

Baik merokok atau tidak, kita harus tetap berhati-hati terhadap kesehatan tubuh.

2. Tidak ada pengobatan untuk PPOK

Faktanya, ada banyak metode pengobatan untuk pasien PPOK. Namun, Nicolacakis mengatakan metode tersebut hanya berfungsi untuk mengontrol gejala agar kondisi pasien semakin membaik.

"Menyembuhkan PPOK mungkin hal yang mustahil tetapi ada banyak cara untuk mengontrol gejala dan mencegah kerusakan lebih lanjut," ucapnya.

Salah satu cara untuk mengontrol gejala PPOK adalah dengan menjauhi gaya hidup merokok, menerapkan pola makan sehat, dan rutin olahraga.

Melakukan vaksin influenza dan pneumonia juga perlu untuk mencegah penyakit serius yang memicu PPOK.

Selain itu, pasien PPOK juga perlu mengonsumsi obat tertentu untuk menghindari komplikasi.

Obat yang diberikan oleh dokter biasanya berupa inhaler untuk membuka saluran udara atau mengurangi peradangan saluran napas.

Dokter juga bisa memberikan oksigen tambahan, dan infus alfa-1-antitripsin jika pasien mengalami defisiensi bawaan.

Untuk mengurangi peradangan, dokter bisa memberikan enzim PDE4.

3. Percuma berhenti merokok Setelah didiagnosis PPOK

Banyak orang berpikir tidak ada manfaatnya berhenti merokok ketika sudah didiagnosis mengalami PPOK.

Faktanya, tidak ada kata terlambat untuk berhenti merokok.

"Bagaimanapun juga, berhenti merokok sangat efektif untuk memperlambat perkembangan penyakit," ucap Nicolakis.

Kerusakan paru-paru akibat PPOK memang bersifat kumulatif.

Dengan kata lain, berhenti merokok memang tidak bisa mengatasi kerusakan paru-paru yang sudah terlanjur terjadi.

Namun, menghentikan kebiasaan tersebut masih memiliki banyak manfaat.

4. Olahraga adalah hal yang susah untuk pasien PPOK

Sesak napas, yang menjadi salah satu gejala PPOK, memang membuat kita sulit melakukan olahraga.

Namun, ada langkah lebih lanjut yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya.

Kita bisa meminta bantuan dokter untuk melatih teknik pernapsan, latihan, dan saran nutrisi yang tepat untuk mengelola gejala PPOK.

"Melakukan olahraga ringan tidak akan melukai paru-paru dan bisa mengurangi gejala PPOK,"ujar Nicolacakis.

Kita bisa melakukan olahraga selama 20 hingga 30 menit sebanyak tiga hingga empat kali seminggu.

Selain olahraga kardio, kita juga bisa melakukan peregangan dan latihan kekuatan.

Saat berolahraga, pastikan untuk menghembuskan olahraga secara perlahan.

Selain itu, lakukan olahraga setelah satu setengah jam usai makan.

https://health.kompas.com/read/2020/10/09/092608168/4-mitos-keliru-mengenai-penyakit-paru-obstruktif-kronis

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke