KOMPAS.com - Istilah toxic positivy bukan lagi hal aneh dikalangan manusia modern.
Istilah ini seringkali digunakan untuk menunjuk kata-kata bernada psoitif namun sebenarnya bisa merusak kondisi mental seseorang.
Prita Yulia Maharani, M.Psi., psikolog dari aplikasi konseling Riliv, menyatakan bahwa toxic positivity memang terdengar sebagai penyemangat.
Tapi, sebenarnya membuat orang lain jadi sedih karena tidak divalidasi.
Kata-kata yang termasuk toxic positivy ini sering kita dengar sebagai penyemangat, tetapi justru berujung meremehkan kesedihan mereka.
Prita menambahkan bahwa saat mendengarkan, penting untuk menerapkan empati atau
memahami kondisi orang secara utuh.
“Toxic positivity membuat kita menekan emosi negatif dengan berusaha menerima emosi positif. Padahal, emosi negatif juga perlu kita terima agar
tidak menumpuk,” ucapnya.
Tidak semua orang ingin diberi nasihat. Banyak yang hanya ingin didengarkan saja.
Toxic positivity membuat orang takut berpikir negatif, takut bercerita pada orang lain, mengisolasi diri, dan meningkatkan risiko stres serta kecemasan.
Berikut adalah 5 ‘semangat’ yang merupakan toxic positivity dan bisa kita coba hindari:
1. “Masih ada yang lebih susah daripada kamu”
Ungkapan ini membuat teman atau kerabat yang bercerita merasa dikecilkan masalahnya.
Kamu tidak mengetahui seberapa besar usaha atau pun perjuangan dia serta hal yang mungkin memperparah kondisinya.
Kamu bisa menggantinya dengan “Aku bisa melihat dan merasakan betapa susahnya kamu berjuang menghadapi semuanya.”
2. “Sudah, jangan terlalu dipikirkan”
Saat seseorang berusaha bercerita ke kamu, itu artinya dia berusaha untuk menyingkirkan pikiran itu dengan membagikannya.
Tidak masuk akal jika kamu menjawab seperti itu. Kamu bisa mengapresiasinya dengan “Terima kasih sudah bercerita ya.”
3. “Sudah, jangan sedih terus. Mellow banget.”
Tidak ada orang yang mau sedih, pun tidak ada yang mau disebut mellow.
Mengatakan hal ini berarti menutup mata bahwa teman atau sahabat sedang mengalami masalah dan mempercayai kamu sebagai teman bercerita.
Kamu bisa berlatih mengatakan “Apa yang bisa kulakukan agar kamu bisa lebih
tenang?”
4. “Masih mending, kalau aku…”
Kompetisi bisa terjadi dimana saja, termasuk siapa yang paling sengsara.
Tidak heran jika kalimat ini bisa menjadi andalan saat seseorang bercerita kesedihannya untuk
menunjukkan bahwa dia bukan yang paling sengsara.
Padahal, hal ini hanya membuat kesedihan menumpuk dan tidak divalidasi.
Kesedihan bukanlah soal persaingan, dan orang yang sedang bercerita tidak ingin berkompetisi dengan siapapun. Kamu bisa membalasnya dengan pelukan atau mengiyakan bahwa apa yang sedang mereka hadapi berat.
5. “Kamu pasti bisa kok, enggak sulit ini.”
Kalimat ini sering muncul dengan niat membantu dan menguatkan, namun sadarkah kamu jika sebenarnya kalimat ini toxic positivity?
Kata ‘enggak sulit ini’ berarti melihat dari kacamata kamu sendiri dan tidak
mempertimbangkan kondisi orang itu.
Bisa jadi dia tidak memiliki sumber daya seperti yang kamu miliki, serta pengalaman berbeda dari yang sudah kamu lalui.
Jika kamu ingin menyemangati, kamu bisa menggunakan kalimat “Aku percaya kamu
bisa, jangan lupa istirahat. Yang penting sudah melakukan yang terbaik sesuai kamu,
ya.”
https://health.kompas.com/read/2021/06/17/073000368/5-kata-toxic-positivy-yang-berbahaya-untuk-kesehatan-mental