Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah M. Habib Shaleh, "Lahir Kembali" setelah Koma Cedera Olahraga

Alih-alih menyerah pada keterbatasan fisik setelah cedera dan sempat koma selama 32 hari, Habib, sapaan akrabnya, gigih menapaki petualangan baru di dunia olahraga disabilitas.

Tak tanggung-tanggung, ia menjajal beberapa cabang olahraga sekaligus, yakni paraatletik, sepakbola 7x7, serta paracycling level lokal sampai internasional.

Di sela-sela kesibukannya menjalani diklat pra-jabatan CPNS daring dan pemusatan latihan (training camp) persiapan kompetisi paraatletik untuk Pekan Paralympic Provinsi (Peparprov) Papua, November 2021 mendatang, Habib membagikan jatuh bangun perjalanannya.

Bermula dari cedera olahraga saat bertanding sepakbola

Masih lekat dalam ingatan Habib, peristiwa 16 tahun silam yang mengubah hidupnya. Kala itu, ia masih duduk di bangku kelas XII SMA Negeri 3 Salatiga.

Sebagai striker tim sepakbola Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Jawa Tengah, ia bersama timnya berlatih intensif untuk persiapan kompetisi antar-PPLP di Makassar.

Saat bertanding, Habib mendapat operan bola di depan gawang. Ia pun berebut bola dan berhadapan langsung dengan kiper tim lawan.

“Bola 50-50 waktu itu. Saya dapat bola, kipernya dapat perut saya,” kata Habib, ketika berbincang dengan Kompas.com di Solo, Senin (13/9/2021).

Tragedi perut Habib terhantam tubuh kiper tim lawan itu membuat usus buntunya pecah. Seketika, ia dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk diberi pertolongan medis darurat dan dioperasi.

Menurut pria kelahiran 1 November 1988 ini, operasi pertamanya berjalan lancar. Tapi, tubuhnya drop dan mengalami koma pasca-operasi.

Setelah empat hari menjalani perawatan medis di salah satu rumah sakit di Salatiga, ia  dipindahkan untuk mendapatkan bantuan medis lanjutan di Semarang.

Total ia tiga kali menjalani operasi di bawah supervisi delapan profesor. Lantaran kasus cedera olahraga yang dialaminya tak lazim, dua profesor yang menanganinya waktu itu sampai bolak-balik mendiskusikan kasus Habib ke Singapura.

Pernah suatu ketika, melihat kans dan kondisi Habib cukup parah, salah satu dokter yang menanganinya menyarankan agar pihak keluarga merelakan 12 selang yang menempel di tubuh atlet muda itu untuk dilepas.

“Keyakinan ibu menyelamatkan saya. Beliau bilang, ‘Jangan, dok. Pasti ada keajaiban’,” ujar Habib menirukan ucapan ibunya.

Benar saja, pada hari ke-32 koma, putra pertama pasangan Siti Istiqomah dan Tri Suwarso ini lepas dari kondisi tak sadarkan diri.

Lantaran memori terakhirnya sepakbola, Habib menjejak-jejakkan kaki di pembaringan begitu sadar dari koma.

Keajaiban kecil itu disambut keluarga Habib dengan sujud syukur. Namun, suka cita itu tak berlangsung lama. Mereka menyadari kondisi Habib jauh berbeda dari sebelum cedera.

“Sadar dari koma saya enggak bisa apa-apa. Kayak bayi baru lahir. Enggak bisa jalan. Enggak bisa ngomong,” ujar Habib terbata-bata mengingat masa lalunya.

Setelah bangun dari koma, Habib menjalani babak baru hidupnya sebagai penderita cerebral palsy atau penyakit lumpuh otak.

Medio 2006-2008 merupakan masa transisi berat bagi Habib dan keluarganya. Terapi fisik dan wicara untuk pemulihan pasca-cedera olahraga membuatnya rehat sekolah selama setahun.

Setelah kondisi fisiknya cukup stabil, ia baru melanjutkan pendidikan untuk menamatkan SMA.

“Bapak kebetulan kerjanya antar-jemput anak TK. Jadi, sekalian antar saya ke sekolah. Kalau anak lain paling diantar sampai pintu gerbang, saya diantarkan bapak sampai tempat duduk di kelas,” kenangnya.

Selepas Habib tamat SMA, ibunda Habib yang berprofesi sebagai guru SMA mendorong putranya untuk belajar mandiri dan bersosialisasi selepas cedera olahraga. Caranya terbilang ekstrem, dengan menguliahkan Habib ke luar kota.

Singkat cerita, Habib akhirnya kuliah di Jurusan D3 Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus).

“Rasa-rasanya berat memang. Jalan saja masih goyang-goyang. Omong juga belum jelas,” ujar dia.

Dua tahun kuliah diploma berjalan relatif lancar hingga semester keempat. Pada semester kelima, Habib merasa minder dengan kondisi fisiknya. Ia pun ingin membuktikan diri pada orang sekitarnya dengan mencari peruntungan merantau ke Jakarta.

Berbekal duit Rp100.000, ia nekat naik sepeda motor sendirian ke Jakarta dari Semarang. Tujuannya, menyambangi salah satu kawannya asal Salatiga yang menjadi atlet karate di Bekasi.

Selama dua tahun, Habib menumpang di mes temannya. Untuk menyambung hidup, ia bekerja dengan membantu bersih-bersih mes, bekerja di kafe milik pelatih karate temannya, sampai menjadi ojek payung di depan RS Mitra Keluarga Bekasi.

Selain bekerja, motivasinya datang ke Ibu Kota kala itu juga kepingin menonton siaran langsung di studio program acara televisi Opera Van Java.

Harapan tersebut lahir ketika ia menyimak kuliah salah satu dosennya yang menayangkan video kompetisi olahraga disabilitas.

Tontonan sepintas lalu itu bersemayam di benak Habib. Ia pun gelisah dan rajin mencari info.Bermodal saran orang sekitarnya sewaktu tinggal di Jakarta, ia diarahkan mencari informasi seputar olahraga disabilitas di kantor Kemenpora.

“Saya ingat waktu itu ke kantor Kemenpora ditemui salah satu staf bagian SDM. Terus, disuruh cari-cari info ke NPC (National Paralympic Committee) Solo,” ujar dia.

Secuil informasi singkat tersebut ibarat kunci pembuka jalan Habib untuk kembali memeluk mimpinya menjadi atlet setelah sempat kandas diterjang cedera olahraga.

Emoh buang-buang waktu lagi, Habib pun segera bertolak dari Jakarta untuk pulang ke kampung halamannya. Ia juga merampungkan kuliahnya yang tinggal satu semester.

Selepas menggenggam gelar ahli madya, ia kembali merajut mimpinya dengan meluncur ke kantor NPC Solo. Begitu melangkahkan kaki di sana, satu per satu pintu kesempatan baru untuk menjadi atlet disabilitas akhirnya terbuka.

Setelah beberapa bulan melakoni latihan intensif, Habib mengawali kariernya barunya sebagai atlet paraatletik di ajang Peparprov 2014. Debutnya kala itu diganjar tiga medali perak.

“Dulu saya sempat seperti bayi, enggak bisa jalan. Lalu ingat di peparprov bisa lari, bisa juara lagi. Rasanya kayak dilahirkan lagi,” kata dia sembari terbata-bata mengingat perjuangannya.

Pada 2015, ia mendapatkan kesempatan untuk memperkuat skuat Timnas Sepakbola Indonesia yang perdana berlaga di panggung Asean Para Games 2015 di Singapura.

Kendati debut timnas kala itu belum membuahkan hasil, namun tim mereka berhasil membayar kekalahannya dengan menyabet predikat jawara di ajang Asean Para Games 2018 di Malaysia, selepas melibas Thailand dan Myanmar.

“Selain dapat bonus, waktu itu saya dapat apresiasi dari Menpora untuk menjadi PNS. Nah, prajab CPNS-nya sekarang,” ujar Habib.

Selain atletik dan sepakbola, Habib juga mencicipi cabang olahraga paracycling atau sepeda.

Di kompetisi Asian Paragames 2018 di Jakarta, Habib bersama rekannya M. Fadli dan Marthin Losu berhasil meraih medali perunggu untuk cabang olahraga paracycling di nomor Men’s Team Sprint Kelas C1-5 (tuna daksa).

Selain itu, ia juga meraih tiga medali emas di kelas Road Combine ITT & RR MC2-3 & WC5, kelas Track 1 Kilo MC2-5, dan kelas Track IP MC2-3 & WC5 ajang Thailand Paracycling Cup 2019.

Dari balap sepeda disabilitas, ia mendapatkan bonus kesempatan mencicipi training di pusat pelatihan balap sepeda tingkat dunia di Swiss.

“Saya ingin hidup kedua ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya,” kata bapak tiga anak ini.

M. Habib Shaleh adalah sosok yang bisa jadi teladan dalam melawan keputusasaan. Ia bisa melihat harapan kendati jalan hidup tak semudah membalik telapak tangan.

https://health.kompas.com/read/2021/09/16/120100968/kisah-m.-habib-shaleh-lahir-kembali-setelah-koma-cedera-olahraga

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke