KOMPAS.com – Gelombang awal tahun Covid-19 terutama varian Omicron di tanah air membuat anak masuk dalam kelompok rentan.
Hal ini divalidasi oleh Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Piprim Basarah Yanuarso.
Dalam konferensi pers, dr Piprim melaporkan kasus Covid-19 pada anak mengalami lonjakan pesat dalam kurun sebulan terakhir.
"Laporan teman-teman di cabang, pasien anak saat ini dibanding Januari sudah 10 kali lipat lebih banyak. Tren kenaikannya luar biasa," kata Piprim dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (9/2/2022).
Lebih lanjut, dr. Piprim membacakan laporan kasus Covid-19 pada anak mengalami peningkatan 646 pada 24 Januari, 2.775 pasien pada 31 Januari, dan menyentuh angka 7.190 pasien pada 7 Februari.
Dengan demikian, tren kasus Covid-19 pada anak ditaksir mengalami peningkatan sebesar 300 persen.
Gejala pada anak
Spesialis Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dr. Rebriarina Hapsari, M.Sc, Sp.MK mengatakan, gejala Omicron pada tingkat usia tertentu tidak dapat dibedakan begitu saja.
dr Rebriarina berpendapat agar tidak ambil pusing terkait varian yang dialami, apabila memiliki gejala infeksi saluran napas atau gejala yang mengarah pada infeksi Covid-19, hendaknya langsung melakukan tes Covid-19.
“Omicron memang menyerang lebih banyak kepada anak dan dewasa muda, tapi gejalanya itu tidak bisa kita bedakan dengan yang lain, intinya adalah gejala saluran pernapasan,” kata Rebriarina saat diwawancarai Kompas.com pada Sabtu (12/2).
"Tidak usah dibedakan misal ‘kalau omicron ditambah pusing dan pingsan’ seperti di Afrika banyak yang seperti itu, jadi misal berasumsi ‘saya enggak pusing dan pingsan berarti bukan Omicron’, tetapi pokoknya kalau ada gejala demam, saluran napas, langsung tes Covid-19,” tegasnya.
Waspadai komorbid
Akan tetapi, varian Omicron yang banyak menyerang anak membuat anak berada dalam posisi rentan, terlebih jika memiliki komorbid.
Salah satu kasus komorbid yang banyak dijumpai pada anak penyintas Covid-19 adalah obesitas.
Padahal, menurut Piprim, obesitas menjadi komorbid yang bisa memperburuk gejala Covid-19.
"Cegah anak menjadi pengidap komorbid akibat gaya hidup yang salah. Banyak sekali laporan anak-anak yang menjadi obesitas pada saat pandemi, padahal obesitas adalah komorbid yang penting, yang bisa membuat penyakit COVID menjadi fatal," jelas Piprim.
Piprim menyarankan agar orang tua di rumah bisa mengontrol pola hidup sehat sang buah hati agar tidak mengalami masalah kesehatan yang merugikan seperti obesitas.
"Karena saking sayangnya dengan anak, anaknya sedang sekolah PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) diberi snack, makan tanpa henti. Akibatnya berat badannya naik 10-20 kilo. Anak yang tadinya sehat-sehat, kemudian menjadi pengidap komorbid karena perlakuan salah dari orangtua," tegasnya.
Haruskah Anak PJJ Lagi?
Sekolah menjadi salah satu klaster Covid-19 yang terus meningkat di beberapa wilayah, seperti Jabodetabek, Semarang, Cilacap, Pekanbaru, Pasuruan, dan beberapa daerah lainnya.
Dalam aturan SKB 4 menteri, sekolah yang berada di wilayah PPKM Level 3 diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka terbatas dan bergantian dengan syarat guru dan tenaga pendidikan sudah divaksinasi paling sedikit 40 persen dan capaian vaksinasi dosis dua pada lansia paling sedikit sepuluh persen.
Masih dalam aturan yang sama, kelas hanya diperkenankan berisi 50 persen siswa dan pembatasan waktu 4 jam dalam sehari.
Aturan ini berlaku pada seluruh jenjang sekolah dari tingkat dasar hingga menengah atas.
Mengenai hal ini, Rebriarina berpendapat, aturan tersebut masih bisa dilaksanakan pada sekolah menengah (SMP-SMA) saja.
Sedangkan pada tingkat Sekolah Dasar (SD), Rebriarina tidak yakin aturan tersebut bisa mencegah klaster Covid-19 karena sulitnya edukasi dan penerapan protokol kesehatan.
“Kita enggak tahu pandemi ini kapan berakhir, kalau pendidikan anak jadi jelek karena pandemi, ya, jangan sampai,” ujar Rebriariana.
“Hanya buat yang SD edukasinya, prokesnya itu agak sulit, lalu imunisasinya belum maksimal. Jadi Pembelajaran Jarak Jauh lebih tepat untuk level anak SD,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rebriarina memberi evaluasi agar tiap sekolah difasilitasi dengan satuan tugas (satgas) Covid-19 dan menyertakan perwakilan dari tiap kelas di tiap sekolah untuk mencegah klaster.
“Sebaiknya ada satgas Covid-19 sendiri, paling tidak disertai dokter atau pakar kesehatan masyarakat dari dinas kesehatan untuk mengawal Covid-19 di tingkat sekolahan tersebut,” kata Rebriariana.
“Satgas ini juga menyertakan perwakilan masing-masing kelas, jadi anak ini juga disertakan, dengan tujuan anak dilibatkan aktif untuk mencegah penularan Covid-19. Misalnya jika ada ada teman yang tidak pakai masker, ada “polisi” anak yang mengingatkan,” sambungnya.
Rebriana juga menambahkan pentingnya masing-masing anak untuk saling mengingatkan jika ada temannya yang sakit untuk tidak masuk sekolah.
“Kemudian jika ada yang tampak pilek atau batuk, anak-anak saling mengingatkan anak yang sakit tersebut supaya ijin tidak masuk terlebih dahulu. Anak-anak yang sudah besar bisa diedukasi, karena pandemi entah kapan berakhir dan kita tidak ingin kualitas pendidikan anak kita terpukul,” tutupnya.
https://health.kompas.com/read/2022/02/14/120000968/anak-jadi-kelompok-rentan-dalam-gelombang-covid-19-varian-omicron