Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peduli Sedari Dini

Kompas.com - 28/10/2009, 05:22 WIB

KOMPAS.com - Tiga belas tahun lalu Linda Amalia Sari menerima kabar buruk. Dia dinyatakan menderita kanker payudara. Sebagai perempuan, vonis tersebut tentu mengguncang hatinya.

Ini penyakit yang tidak diinginkan perempuan, tetapi justru di Indonesia, penderita kanker payudara terhitung banyak,” ujar Linda Amalia Sari, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Kabinet Indonesia Bersatu II.

”Saya kini merasa sangat segar dan sehat,” ujarnya di sela-sela Diskusi Kanker Payudara yang diselenggarakan harian Kompas bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta, Selasa (27/10). Betapapun, Linda masih merasa bersyukur ketika diketahui kanker pada stadium nol. Setelah benjolan diangkat, jiwanya pun terselamatkan.

Pengalaman itu pula yang membuat Linda sadar benar betapa penting masyarakat memahami deteksi dini kanker payudara.

Setelah pengalaman itu, istri Agum Gumelar tersebut bersama survivor lain, dokter, dan orang yang peduli dengan kanker payudara membentuk Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta. Linda aktif berkampanye mengenai kanker payudara bersama survivor lainnya. ”Ini masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus,” ucapnya.

Vonis kanker payudara juga dialami Andy Endriartono Sutarto yang dideteksi menderita kanker payudara stadium 2A. Perempuan penderita kanker payudara, kata Andy, merasakan stres luar biasa. Selain klinis, faktor psikologis seperti dukungan keluarga dan pengetahuan orang-orang sekitar tentang penyakit yang diderita menjadi sangat penting. Secara fisik dan mental, penderita harus kuat untuk menjalani terapi.

”Kekuatan itu terutama didapat dari lingkungan sekitar, terutama keluarga,” ujar Andy yang juga aktif sebagai penasihat di Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta.

Beban psikologis

Beban psikologis perempuan penderita kanker payudara demikian besar. Ketua Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta yang juga spesialis bedah onkologi di RS Dharmais, dr Sutjipto, tidak sekadar mendiagnosis dan memberikan saran terapi.

”Saya selalu memberikan pemahaman terlebih dahulu kepada pasien dan keluarganya bahwa kanker payudara tidak lantas berujung kematian dan kehilangan payudara. Mereka yang diketahui kankernya pada stadium awal mempunyai peluang hidup lebih besar. Butuh berhari-hari untuk membuat pasien lebih tenang,” ujar dokter yang banyak menangani pasien kanker tersebut.

Kehilangan payudara juga merupakan kekhawatiran besar lantaran adakalanya membuat perempuan merasa tidak sempurna lagi sehingga dukungan keluarga, termasuk pendamping hidup, sangat diperlukan.

Ketidakmengertian keluarga terkadang ikut mendorong pasien untuk menempuh pengobatan yang tidak rasional, atau ”pengobatan alternatif”. Setelah penyakitnya memburuk, pada akhirnya pasien kembali ke rumah sakit, tetapi kanker sudah semakin menyebar.

Pembunuh perempuan

”Kanker payudara masih menjadi penyakit yang terabaikan, padahal masalahnya sangat besar,” ujar Sutjipto. Di dunia muncul sekitar 1.050.000 kasus baru. Di Indonesia, kanker payudara dan leher rahim merupakan dua kanker terbanyak penderitanya. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit 2007, kanker payudara menempati urutan pertama di Indonesia (21,69 persen).

Beberapa tahun belakangan, usia penderita semakin muda seiring dengan perubahan pola makan dan gaya hidup. ”Baru-baru ini saya menangani dua kasus kanker payudara pada perempuan berusia 15 tahun,” kata Sutjipto.

Penyakit kanker payudara cenderung meningkat 0,5 hingga 3 persen setiap tahun di semua negara, baik di negara maju maupun sedang berkembang.

Gejala kanker

Gejala awal kanker payudara dapat berupa benjolan yang biasanya dirasakan berbeda dari jaringan payudara di sekitarnya, tidak menimbulkan nyeri, dan biasanya memiliki pinggiran tidak teratur. Tanda lain yang mungkin timbul adalah benjolan di ketiak, perubahan ukuran atau bentuk payudara, keluar cairan yang abnormal dari puting susu, dan perubahan warna atau tekstur kulit payudara.

Kardinah dari Seksi Ilmiah Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta menambahkan, skrining dan deteksi dini sebetulnya dapat secara signifikan menurunkan stadium pada temuan kasus kanker payudara. Selain mamografi, pemeriksaan payudara sendiri (Sadari) yang dapat diajarkan, kemudian dipraktikkan sendiri oleh perempuan, jika dilakukan secara teratur bisa mendeteksi tumor 1,2 sentimeter.

”Peran puskesmas dan posyandu harus digiatkan untuk penyuluhan mengenai kanker payudara,” ujarnya.

Saat ini masyarakat masih minim pengetahuan tentang kanker. Akibat minimnya pengetahuan tersebut, tak mengherankan sekitar 70 persen pasien datang dalam kondisi stadium lanjut. Padahal, dengan deteksi dini dan ditangani segera, pasien memiliki lebih banyak pilihan, termasuk mempertahankan payudara.

Kepala Subdirektorat Penyakit Kanker Departemen Kesehatan Rini Noviani mengatakan, pemerintah berupaya terus mempromosikan pola hidup sehat dan mengenali faktor risiko kanker payudara.

Di samping itu, upaya skrining dan deteksi seperti Sadari, pemeriksaan klinis, USG, dan mamografi terus diupayakan. ”Memang masih ada kendali untuk ketersediaan tenaga kesehatan dan alat,” ujarnya.

Bagi para survivor dan orang yang peduli kanker payudara, membangun kesadaran di tengah segala keterbatasan merupakan sebuah kerja keras. Sebuah perjalanan panjang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com