JAKARTA, KOMPAS.com - Menjadi pelupa dapat menyebabkan kita mengalami stres, terutama kalau sampai membuat pekerjaan terhambat. Namun, jangan lupa bahwa kadang kita menjadi pelupa justru karena stres.
Seorang ibu berusia menjelang lansia, sangat cantik, hadir di sebuah ruang konsultasi psikologi. Meski berdandan sangat rapi dan serasi, ekspresi wajah dan gerak tubuhnya menunjukkan ketegangan yang luar biasa.
Masalah yang pertama dikemukakan adalah problem ingatan (memori) yang menurutnya sangat parah. Ia sangat sering lupa di mana meletakkan buku-buku yang biasa di pakai untuk mengajar, lupa meletakkan dompet yang baru saja dipegang, dan sebagainya.
Sepintas, masalah lupa itu sepertinya persoalan biasa yang juga dihadapi orang-orang lain ketika usia semakin lanjut. Pada ibu ini tampaknya ada persoalan lain yang tidak sederhana. Ketegangannya pada saat itu merupakan petunjuk bahwa ia mengalami stres berat.
Penampilan yang elegan dan tutur kata yang cukup runtut tidak dapat menutupi stresnya. Selain ekspresi wajah yang tegang dan gerak tubuh resah, gelombang suaranya tidak stabil, mengesankan ia memiliki problem pernapasan. Ia bertanya kepada psikolog itu, “Menurut Anda saya tampak stres atau tidak?”
Dimulai dengan pertanyaan psikolog mengenai kapan ia mulai mengalami problem memori, sang ibu menjelaskan bahwa ini terjadi sejak ia masih muda, yakni sebelum lulus sarjana. Waktu itu seorang teman karib mengomentari bahwa ia mengalami kemunduran, tidak secerdas dulu, dan ia sendiri membenarkan hal itu. Kita tahu bahwa kecerdasan adalah fungsi kognitif, termasuk memori.
Pengalaman Traumatik
Dengan pertanyaan lebih lanjut, “Apakah ada kejadian-kejadian penting yang berlangsung sebelumnya? si ibu menceritakan rangkaian peristiwa yang mulai mengubah hidupnya menjadi cukup suram. Ia yang sebelumnya sering menjadi bintang kelas (karena cantik dan cerdas), menjadi ketua di salah satu asrama mahasiswa, sibuk dalam berbagai kepanitiaan, sangat buta dalam hal seksualitas, kemudian harus menerima kenyataan ia hamil (karena pacar), harus keluar dari asrama, menunda kuliah, menikah, hidup dengan mertua yang galak, repot membesarkan bayi (di usia muda), mengalami trauma dalam hubungan seksual, persoalan ekonomi rumah tangga, dst.
Meski kemudian dapat berumah tangga mandiri (lepas dari mertua) dan keadaan ekonomi jauh lebih baik, bertambah anak, menikahkan anak, bahkan sampai dikaruniai cucu, sepanjang perjalanan itu persoalan demi persoalan masih saja terjadi.
Berawal dari kesulitan dalam hubungan seksual (yang dianggap tabu untuk dibicarakan), akhirnya berkembang menjadi jurang dalam hubungan dengan suami. Terjadi kehausan akan kasih sayang, sampai-sampai berkembang menjadi keadaan neurotis: sering mengalami kecemasan yang tidak beralasan dan kompulsi dalam merias diri. Ibu tersebut juga sering menderita sesak napas kronis, memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan rekan kerja, dan sederet persoalan lainnya.
Tidak sulit untuk memahami mengapa ibu yang dikenal cerdas dan ceria di masa muda ini akhirnya memiliki problem memori yang cukup parah. Hal ini juga terjadi pada sebagian orang yang telah mengalami stres berat, seperti halnya mereka yang mengalami stres pasca pengalaman traumatik (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).