Infeksi virus hepatitis B telah lama dikenal keganasannya lantaran dapat berkembang menjadi ganas dan merusak organ hati. Tak hanya pada orang dewasa, bayi justru rentan tertular virus tersebut dan risiko infeksi mengganas justru lebih besar pada bayi ketimbang orang dewasa.
Tak mengherankan jika dalam peringatan Hari Hepatitis pada 28 Juli lalu, imunisasi hepatitis B dini menjadi salah satu yang disuarakan para pemerhati penyakit itu. Hari Hepatitis Sedunia tahun ini merupakan peringatan pertama.
Indonesia bersama Brasil berperan besar dengan mengusulkan kepada Executive Board Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada sidang organisasi itu, Mei lalu, agar hepatitis menjadi isu dunia. Usul itu diterima dan ditetapkan pada 28 Juli, sesuai hari lahir Dr Baruch Blumberg yang menemukan hepatitis B pada 1965.
Unggul Budihusodo dari Divisi Hepatologi-Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengungkapkan, hepatitis merupakan peradangan hati yang kebanyakan disebabkan infeksi virus. Ada lima virus hepatitis yang umum, yakni A, B, C, D, dan E.
Hepatitis A dan E ditularkan melalui feses dan makanan serta minuman yang terkontaminasi. Orang kerap menyebut hepatitis A dengan sakit kuning. Kedua jenis hepatitis ini umumnya dapat sembuh sendiri dan tak berbahaya. Sedangkan hepatitis B, C, dan D jauh lebih berbahaya.
Virus hepatitis berada dalam darah dan cairan tubuh. Penularan virus hepatitis B, misalnya, lewat transfusi darah, hubungan seksual tidak aman, penggunaan jarum suntik/atau alat tajam tidak steril, cuci darah, cangkok organ, serta penularan dari ibu ke bayi (vertikal). Namun, ada juga peradangan hati atau hepatitis yang terjadi karena metabolisme atau keganasan kanker.
Hepatitis B dan C merupakan masalah besar di dunia dan jumlah pengidapnya terus bertambah. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, dalam sebuah seminar baru-baru ini, mengatakan, 400 juta penduduk dunia sedang terinfeksi virus hepatitis B (VHB) dan 170 juta orang menderita hepatitis C. Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam hal jumlah pengidap setelah dua negara berpenduduk besar lainnya, yakni China dan India. Diperkirakan, pengidap hepatitis B dan C di Indonesia mencapai 20 juta orang.
Dari ibu ke bayi
Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi penduduk yang pernah terinfeksi virus hepatitis B ditunjukkan dengan angka Anti-HBc sebesar 34 persen dan cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Perjalanan hepatitis B menahun sering kali tanpa gejala selama bertahun-tahun sehingga seseorang tidak sadar mengidap virus tersebut dan berpotensi menularkan. Terkadang keluhannya hanya lemas, lekas lelah, gangguan pencernaan, kembung, mual, dan hilang nafsu makan. Jika yang mengidap virus hepatitis B itu seorang calon ibu, ada risiko penularan dari ibu ke anak.
M Juffrie dari Unit Kerja Koordinasi Gastro-Hepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, dalam acara temu media mengenai hepatitis, pekan lalu, menyatakan, jika ibu positif HBsAG dan HBeAG, risiko anak tertular 70 persen-90 persen. Jika ibu hanya positif HBsAG, 5-20 persen risiko anak tertular.
Umur saat terpapar virus hepatitis B juga memengaruhi keganasan. Infeksi virus hepatitis B pada bayi sejak lahir (tertular ibu) memiliki risiko kronisitas lebih dari 90 persen. Jika usia terpapar 1-5 tahun lewat penularan horizontal (dari luka terbuka atau injeksi tidak aman) risiko kronisitas 25-30 persen. ”Berbeda dengan orang dewasa. Risiko hepatitis B menahun dan kemudian terjadi kronisitas, seperti sirosis atau kanker hati, jauh lebih rendah pada orang dewasa penderita hepatitis B, yakni 5-7 persen. Pada orang dewasa, infeksi hepatitis C justru berisiko mengganas lebih besar, sekitar 80 persen,” ujar Juffrie.
Perjalanan infeksi hepatitis B hingga terjadi sirosis pada bayi dan anak juga jauh lebih cepat. ”Pada bayi, sirosis dapat terjadi dalam hitungan bulan. Jangan heran, bayi masih usia tujuh bulan sudah mengalami sirosis. Bayi berak dan muntah darah,” ujarnya. Pada orang dewasa, perjalanan infeksi virus hepatitis B hingga sirosis atau kanker hati bisa bertahun-tahun.
Vaksin hepatitis B
Sejauh ini vaksin hepatitis B digunakan untuk melindungi bayi dari infeksi hepatitis B. Menurut Juffrie, vaksinasi menjadi sangat penting. ”Terlebih, semakin dini infeksi pada bayi, sangat tinggi risikonya menjadi parah. Kuncinya, pemberian vaksin pada nol hari,” ujarnya.
Vaksinasi hepatitis B sebanyak tiga dosis terbaik dilaksanakan pada 12 jam pertama sejak kelahiran. Vaksinasi berikutnya 1 bulan kemudian dan dosis terakhir 3-6 bulan berikutnya. ”Ada perbedaan jadwal antara pemerintah dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, tetapi tidak masalah. Jadwal pemerintah disederhanakan agar bisa dibarengkan dengan vaksinasi lain untuk efisiensi dan meningkatkan cakupan,” ujarnya.
Sekitar 95 persen bayi yang divaksin bisa membangun kekebalan pada hepatitis B dan durasi kekebalannya mencapai 20 tahun atau lebih. Tidak direkomendasikan vaksinasi ulang. ”Tetapi, jika ingin di-booster, dapat dilakukan pada saat anak memasuki setidaknya usia 18 tahun,” ujarnya.
Di Indonesia, vaksin hepatitis B telah menjadi bagian dari program imunisasi. Pemberian imunisasi hepatitis B guna memutuskan rantai penularan dari ibu pengidap kepada bayinya dan memberikan perlindungan hepatitis B pada masa mendatang. Kini, vaksinasi hepatitis B digabung dengan vaksinasi DPT—menjadi DPT/HB kombinasi sejak 2004. Vaksinasi massal ditujukan bagi bayi baru lahir sampai berusia 1 tahun secara cuma-cuma.
Kompas/Indira Permanasari
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.