Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meningitis yang Diam-diam Mengancam

Kompas.com - 14/09/2010, 09:25 WIB

Belakangan ini, vaksin meningitis bagi jemaah haji menjadi pembicaraan, terutama terkait kehalalannya. Sampai-sampai pemerintah harus membeli vaksin tersebut sebanyak dua kali agar jemaah haji mendapatkan jenis vaksin meningitis yang halal.

Vaksin halal itu menggantikan vaksin yang sudah telanjur dibeli, tetapi kemudian dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Kementerian Kesehatan menjadwalkan penyuntikan vaksin meningitis dimulai setelah Idul Fitri.

Kekhawatiran terhadap meningitis dan perlunya membekali diri dengan perlindungan adalah wajar, mengingat pengalaman buruk yang menghantui jalannya ibadah haji.

Kejadian luar biasa meningitis meningokokus pada jemaah haji terjadi pada tahun 1987 yang menimpa jemaah haji dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Jumlah jemaah haji Indonesia yang terserang sebanyak 99 orang dan 40 di antaranya meninggal. Tahun 2000, terjadi lagi sejumlah kasus meningitis.

Meningitis tidak hanya rawan menyerang jemaah haji. Menurut situs Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges—selaput yang melapisi otak dan saraf tunjang. Radang selaput otak dan selaput sumsum tulang itu terjadi secara akut.

Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme, seperti virus, bakteri, dan jamur. Meningitis yang disebabkan virus umumnya tidak berbahaya dan dapat sembuh tanpa perawatan spesifik. Namun, meningitis akibat bakteri dapat berakibat serius, seperti kerusakan otak dan kehilangan pendengaran.

Jenis bakteri yang terbanyak menjadi penyebab meningitis adalah Streptoccocus pneumoniae (pneumokokus) dan Neisseria meningitides (meningokokus). Lainnya ialah Haemophilus influeenzae dan Literia monocytogenes.

Pneumokokus paling sering menyebabkan meningitis pada bayi atau anak. Bayi termasuk kelompok yang rentan tertular lantaran belum terlalu baiknya daya tahan tubuh. Jenis bakteri serupa bisa pula menyebabkan infeksi pneumonia, telinga, dan rongga hidung.

Dr dr Iris Rengganis, SpPD, K-AI, FINASIM dari Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengatakan, jemaah haji berisiko lantaran Arab Saudi adalah negara epidemis penyakit meningokokus.

Selain itu, jemaah haji yang datang ke Mekkah sebagian berasal dari negara-negara Sub-Sahara Afrika yang merupakan daerah Meningitis belt, daerah endemis untuk meningokokus. Jemaah haji Indonesia yang pada umumnya belum mempunyai kekebalan terhadap meningokokus akan berisiko tertular dari jemaah haji negara lain.

Penularan

Penularan bakteri yang bersifat langsung dapat terjadi melalui udara atau kontak dengan cairan pada saluran pernapasan, misalnya, pemakaian gelas bersama. Kuman akan menempati daerah nasofaring, kemudian menembus selaput lendir.

”Dalam kondisi tubuh lemah, mikroorganisme dari nasofaring dapat masuk ke dalam sirkulasi darah, kemudian menyebar ke selaput otak, sendi, jantung, serta ke seluruh tubuh,” ujarnya.

Faktor-faktor yang mempermudah keberadaan kuman di tenggorokan, antara lain, akibat kebiasaan merokok dan infeksi virus. Hal ini terjadi akibat kerusakan epitel di daerah itu. Orang-orang yang mempunyai daya tahan yang rendah juga lebih mudah terkena penyakit tersebut.

Iris mengatakan, gejala meningitis dapat berupa demam (panas tinggi) mendadak, nyeri kepala, nyeri otot, rasa lemah, sakit tenggorok, batuk, kaku kuduk yang dapat disertai penurunan kesadaran, berkeringat, dan fotofobia (takut cahaya).

Sekitar 20 persen dari penderita akan mengalami kejang. Juga sering terjadi mual, muntah, dan diare. Pada 85 persen penderita dewasa, mereka kerap menderita sakit kepala dan suhu tubuh tinggi. Selain itu juga muncul ruam atau gangguan pada kulit.

Menurut Iris, komplikasi yang mungkin terjadi bisa sangat fatal. Penderita bisa mengalami ketulian, kejang, dan infark otak yang bisa menjurus ke cacat yang menetap.

Untuk menetapkan diagnosis penyakit meningitis meningokokus perlu dilakukan biakan yang diambil dari darah, cairan serebrospinal, dan tempat infeksi lainnya, seperti daerah nasofaring dan lesi kulit.

Kurangi risiko

Berita baiknya, risiko meningitis dapat dikurangi dengan pemberian vaksin. Khusus untuk jemaah haji, vaksin meningitis meningokokus paling lambat diberikan 10-14 hari sebelum tiba di Tanah Suci lantaran kekebalan tubuh baru akan terbentuk 10-14 hari setelah penyuntikan.

Vaksin tersebut efektif mencegah penyakit meningokokus sampai dengan 90 persen dan respons antibodi yang diperoleh setelah 10-14 hari penyuntikan dapat bertahan selama tiga tahun. ”Bagi jemaah yang sudah divaksin sebelumnya dan kurang dari tiga tahun, tidak perlu vaksinasi ulang. Jemaah yang melakukan vaksinasi kurang dari 10 hari harus diberi juga profilaksis Cyprofloxacin 500 mg dosis tunggal,” kata Iris.

Sedangkan vaksin yang dikenal di Indonesia sebagai pencegahan terhadap meningitis pada anak, antara lain, Haemophilus influenza type b (Hib) dan Pneumococcal conjugate vaccine.

Terapi terhadap penyakit meningokokus dilakukan dengan memberikan antibiotik. ”Apabila ada meningitis diberikan steroid, hal tersebut dapat mengurangi ketulian dan beberapa efek akut,” ujarnya.

Pencegahan bagi mereka yang kontak dengan penderita ialah dengan memberikan antibiotik kemoprofilaksis.

Mereka yang berisiko tinggi di antaranya adalah orang dengan anggota keluarga yang sakit, penghuni panti penitipan atau perawatan, dan setiap orang yang terpajan dengan sekresi oral penderita, seperti minum dari gelas yang sama, berciuman, atau resusitasi dari mulut ke mulut.

Indira Permanasari

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com