Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Mutiara di Balik Cangkang

Kompas.com - 06/02/2011, 13:15 WIB

Mempunyai seorang anak autistik tak ubahnya seperti menghadapi kerang besar yang menyimpan mutiara indah di dalamnya. Cangkang kerang yang keras dan tertutup rapat itu mesti dibuka pelan-pelan dengan usaha yang besar.

Begitulah presenter M Farhan (41) menggambarkan perasaannya sebagai ayah Ridzky (11), putra sulungnya yang terdeteksi autistik. ”Karena usaha kita dahsyat, begitu cangkang itu terbuka sedikit saja, rasanya luar biasa,” ujar ayah dua anak yang juga kondang sebagai penyiar radio itu.

Ridzky mulai mendapat terapi sejak usia 18 bulan dan mengucapkan kata pertamanya, ”ayah”, pada usia 4 tahun. Walau lebih dekat dengan sang ibu, kata ”ibu” baru bisa diucapkan belakangan karena memang kata itu lebih sulit dilafalkan.

Memiliki anak autistik, diakui Farhan, merupakan masalah sekaligus berkah. Masalah, karena bukan hal mudah membuat anak autistik dapat beradaptasi dengan dunia yang ada—bukan dunia dalam benaknya sendiri.

Namun, mendampingi mereka tumbuh dan berkembang juga tak ubahnya mengalami keajaiban berkali-kali. Itu yang dirasakan Farhan, misalnya, ketika tiba-tiba Ridzky menyanyikan ”Beyond the Sea”, lagu tema film Finding Nemo yang ia gemari.

”Lebih dahsyat lagi ketika melihat bagaimana Ridzky berinteraksi dengan Bisma, adiknya yang tidak autistik,” ujarnya.

Keajaiban

Autisme merupakan salah satu hal yang menyebabkan seorang anak dikategorikan berkebutuhan khusus. Anak yang mengalami kesulitan belajar, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), hingga tunarungu atau tunagrahita juga digolongkan sebagai anak berkebutuhan khusus.

”Keajaiban” seperti yang dirasakan Farhan ini tergambar dalam acara temu anak spesial yang diselenggarakan Yayasan Peduli Anak Spesial dan Harry Darsono Foundation di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (5/2).

Dalam acara ini, anak-anak yang semula tersisih, dianggap bodoh, bahkan dipandang cacat, karena mereka berkesulitan belajar menampilkan bakat dan kemampuan yang luar biasa.

Kesulitan mereka untuk belajar sama sekali bukan disebabkan tingkat kecerdasan yang rendah. Marie Fauzan (13) yang kini duduk di bangku kelas I sebuah SMP di pinggiran Jakarta, misalnya, sudah lima kali dikeluarkan dari sekolah-sekolah sebelumnya. Padahal, IQ-nya mencapai 120 atau di atas rata-rata.

Anak-anak ini berbeda dan berkebutuhan khusus, tetapi mereka juga kaya akan potensi. Brandon (9) yang kata ibunya sangat bandel, misalnya, bisa membaca buku atau majalah dalam bahasa apa pun dengan mata tertutup kain tebal. ”Membaca” dengan rabaan tangan itu merupakan salah satu kemampuan Brandon yang juga sering disebut sebagai anak indigo.

Brandon pula yang mencengangkan para undangan di acara temu anak spesial ini dengan ceramahnya dalam dua bahasa tanpa teks.

”Apa teman-teman pernah membayangkan apa jadinya kalau alam semesta dan semua yang ada di dalamnya hanya berwarna merah? Tentu tidak indah. Pelangi saja punya banyak warna, musik punya banyak nada, jari-jari kita pun tidak sama. Kami juga berbeda, tetapi kami punya banyak bakat,” ujarnya.

Penampilan Young Boys juga tak kalah mengagumkan. Empat remaja: Andreas, Kenan, Yongki, dan Clyde, yang bergabung dalam kelompok ini bukan sekadar pemain piano, mereka juga komposer dan arranger. Mereka bukan hanya berprestasi di ajang nasional, melainkan juga mengukir prestasi hingga ke luar negeri.

Di Gedung Bentara, keempat remaja ini memainkan dua piano yang ditata saling membelakangi. Lantunan lagu klasik hingga tradisional Jawa disajikan dengan sangat atraktif. Misalnya, mereka memainkan tuts piano sambil bertukar posisi, bahkan sambil berdiri dengan masing-masing tangan memencet tuts di piano berbeda.

Jalan untuk menemukan dan mengasah mutiara memang tidak pernah mudah. Selalu ada kekhawatiran membayangi orangtua ketika anaknya dikategorikan berkebutuhan khusus.

Aji yang mempunyai dua anak berkebutuhan khusus, misalnya, tak luput dari kesedihan ketika kedua anaknya didiagnosis begitu. Namun, ia menyadari Tuhan tak salah mengamanatkan dua anak istimewa itu kepadanya.

”Dua bintang kan pangkat yang lebih tinggi dari satu bintang,” ujarnya berkelakar.

Kata Harry Darsono, doktor dan perancang adibusana yang serba bisa, yang sempat belasan tahun menjalani terapi sebagai pengidap ADHD, ketakutan ini mesti ditepis dengan keyakinan. Tuhan pasti memberikan kemampuan kepada anak-anak istimewa ini untuk menemukan jalan mereka sendiri menuju kemandirian.

Nur Hidayati

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau