Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjinakkan Dengue dengan Bakteri

Kompas.com - 28/02/2012, 08:53 WIB

OLEH IRWAN JULIANTO

Tak dapat disangkal demam berdarah dengue penyakit endemik di Indonesia. Pengasapan dan penggunaan larvasida terbukti kurang efektif. Ada upaya mengendalikan nyamuk penular virus dengue menggunakan bakteri Wolbachia. Peneliti Australia terbukti berhasil. Sebuah harapan untuk Indonesia.

Pada musim penghujan seperti sekarang ini, jumlah kasus kesakitan karena DBD di Indonesia dapat dipastikan meningkat. Beberapa rumah sakit swasta di Jakarta dikabarkan sampai kewalahan menampung pasien

DBD menjangkiti sekitar 50 juta orang setiap tahun di lebih 100 negara di seluruh dunia. Selain dapat menyebabkan penderitanya mengalami kesakitan serius, tak sedikit pula yang berakibat fatal. Biaya untuk rawat inap cukup tinggi sehingga menjadi beban di negara-negara di kawasan tropis seperti Indonesia.

Virus dengue ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti. Berbagai upaya menekan atau membasmi populasi nyamuk Aedes aegypti sejauh ini terbukti kurang efektif. Kita sudah akrab dengan pengasapan (fogging), membersihkan sarang nyamuk, dan penggunaan larvasida untuk membunuh larva atau jentik nyamuk seperti abate. Selain abate, masih ada juga beberapa jenis larvasida lain yang lebih mahal.

Sebuah proyek percontohan pemberantasan DBD di kota Yogyakarta yang didanai oleh Yayasan Tahija, yayasan filantrofi yang didirikan oleh keluarga almarhum Julius Tahija, yang berlangsung sejak tahun 2004 hingga 2010, terbukti kurang mendatangkan hasil yang memuaskan. Padahal, dana yang dihabiskan yayasan ini tak kurang dari 4,3 juta dollar AS. Kegiatan itu melibatkan hampir 300 tenaga lapangan untuk memantau jentik nyamuk.

Tingkat kejadian penularan DBD di Kota Yogyakarta pada rentang 2007-2010 memang sempat menurun, tetapi kurang signifikan. Salah satu penyebabnya, Kota Yogyakarta dikelilingi hunian yang padat penduduk yang langsung berimpitan, yaitu Sleman dan Bantul. Percuma saja memberantas nyamuk di Kota Yogyakarta, sementara nyamuk Aedes aegypti tetap bebas berkeliaran di kedua wilayah itu.

”Terbukti mustahil untuk mengontrol DBD dengan hanya menjadikan jentik nyamuk Aedes aegypti sebagai target,” tutur dr Sjakon G Tahija, pembina Yayasan Tahija. Dokter ahli mata menyatakan, dana sebesar hampir Rp 40 miliar yang dihabiskan untuk pengendalian DBD di Yogyakarta itu bisa dipakai untuk membiayai 72.000 operasi katarak atau 14.300 beasiswa untuk pendidikan dasar.

”Betapa pun, itu bukan suatu kesia-siaan dan kemubaziran. Karena dari pengalaman di Yogya, Indonesia dan negara-negara di seluruh dunia dapat memetik pelajaran penting menghamburkan miliaran dollar AS untuk pengendalian DBD yang tak efektif,” kata dr Sjakon pula. Ia pernah mempresentasikan pengalaman pengendalian jentik nyamuk Aedes yang dilakukan Yayasan Tahija di Yogyakarta dalam sebuah konferensi internasional di Philadelphia, Amerika Serikat.

Pertama di dunia

Akhir tahun 2010 Yayasan Tahija mulai berpaling ke upaya pengendalian hayati (biological control) memanfaatkan bakteri Wolbachia yang diusulkan seorang pakar, Dr Duane Gubler. Gubler merujuk ke pakar lain bernama Scott O’Neill, yang ketika itu menjadi Kepala Fakultas Ilmu-ilmu Biologi, University of Queensland, Australia.

Sebelumnya, ada juga tawaran dari sebuah perusahaan AS, Oxytech, yang mengusulkan penggunaan nyamuk Aedes aegypti transgenik. ”Untung kami tolak karena menimbulkan kontroversi di Malaysia,” kata A Wahyuhadi, Ketua Yayasan Tahija.

   Menurut Prof Scott O’Neill (50), yang sejak Juni 2011 menjadi dekan di Fakultas Sains Monash University di Melbourne, bakteri Wolbachia terbukti memblok transmisi virus dengue dari nyamuk Aedes aegypti ke manusia. Ia merupakan pakar pertama di dunia yang berhasil melakukan percobaan, baik laboratorium maupun di lapangan, di kota Cairns, Australia Utara. Jika nyamuk- nyamuk yang disuntik bakteri Wolbachia itu kawin dengan nyamuk biasa, akan lahirlah generasi baru nyamuk yang terinfeksi Wolbachia.

Bakteri Wolbachia diketahui hidup sebagai endosimbion di dalam 70 persen dari sekitar lima juta spesies serangga di seluruh dunia. O’Neill sendiri meraih gelar doktornya di bidang ilmu serangga (entomologi) dari University of Queensland dengan disertasi tentang Wolbachia di dalam tubuh serangga. Ia melanjutkan risetnya tentang Wolbachia pada lalat buah (Drosophila melanogaster) di University of Illnois, AS. Ketika ia menjadi dosen tahun 1991- 2001 di Yale University, AS, upayanya merekayasa genetika bakteri Wolbachia selalu gagal.

Idenya untuk memanfaatkan bakteri Wolbachia untuk pengendalian hayati nyamuk muncul setelah mengetahui keberhasilan Dr Seymour Benzer dari California Institute of Technology mengidentifikasi lalat Drosophila yang berumur pendek. Ternyata di otak lalat- lalat itu ditemukan strain Wolbachia yang tumbuh pesat menyerupai berondong sehingga strain bakteri itu disebut popcorn strain.

”Di Yale saya coba menginfeksi nyamuk Aedes dengan popcorn strain bakteri Wolbachia selalu gagal. Di Queensland baru berhasil setelah lima tahun, memakai teknik kultur jaringan,” tutur Scott O’Neill ketika ditemui di Yogya, Kamis (23/2) malam lalu. Temuannya telah dipublikasikan di majalah Nature tahun lalu.

Kini apa yang berhasil di laboratorium dan di Australia Utara menunggu penelitian lanjutan di Indonesia. Universitas Gadjah Mada beruntung dilibatkan dalam terobosan ini.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau