KOMPAS.com - Selama 4 tahun berkecimpung di bidang psikosomatik medis, saya lebih banyak dikunjungi pasien dari hasil pencarian pasien sendiri akan kondisinya di berbagai website dan tulisan yang saya buat. Kebanyakan dari pasien datang karena melihat tulisan saya di blogspot, kaskus, kompasiana, kompas.com, detik.com atau kolom konsultasi di kompas.com.
Rata-rata, mereka baru merasakan adanya kepentingan untuk bertemu psikiater setelah membaca tulisan saya itu. Walaupun tidak semua pembaca bisa datang ke klinik saya, tetapi dalam email yang mereka kirim, mereka meminta saran psikiater mana di daerah mereka yang bisa dikunjungi. Ketika bertemu secara langsung dengan pasien-pasien ini, sebenarnya mereka sudah pernah melakukan kunjungan ke berbagai dokter baik umum maupun spesialis.
Namun sedikit sekali di antara para dokter ini yang pernah menyarankan pasiennya ke psikiater. Biasanya, pasien malah akhirnya datang ke psikiater karena keinginan sendiri. Lucunya, dulu ada pasien yang mengatakan kalau dokternya malah melarang dia berobat ke psikiater. Saya mencoba menelaah beberapa kasus yang menyebabkan dokter ternyata tidak mudah mengkonsulkan pasiennya ke psikiater. Poin-poin di bawah ini mungkin tidak berlaku sama, namun tentunya ini adalah hal-hal yang terlihat dalam praktek sehari-hari.
A. Stigma
Profesi psikiater dan ranah kesehatan jiwa memang diliputi stigma. Stigma gila dan tidak waras adalah stigma umum yang melekat pada diri masyarakat akan profesi ini. Sayangnya, ternyata banyak juga dokter yang berpendapat serupa. Stigma ini yang membuat para profesional di bidang medis ini juga masih "was-was" jika harus merujuk pasiennya ke psikiater.
Walaupun sama-sama penyakit medis, penyakit jiwa ditempatkan oleh para sejawat ini kadang di luar konteks medis sehingga ada perasaan tidak nyaman jika harus mengatakan itu ke pasien. Beberapa dokter senior bidang spesialisasi lain yang saya tanya mengatakan memang mereka takut membuat pasien tersinggung jika mengatakan harus berkonsultasi ke psikiater.
B. Pendirikan tak mendukung
Tidak dapat dipungkiri bahwa Bagian Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) di Fakultas Kedokteran adalah bukan bagian favorit. Banyak cerita di seputar mahasiswa kedokteran yang berkembang bahwa mereka tidak nyaman jika harus stage di bagian ini. Pelajarannya pun dikatakan abstrak dan tidak jelas. Belum lagi ketakutan karena harus bergaul dengan pasien gangguan jiwa berat ketika stage saat mereka koasisisten (sebagai dokter muda).
Hal ini sebenarnya berakar dari kurangnya minat para mahasiswa ini di bidang ilmu jiwa. Ilmu jiwa ditempatkan sebagai ilmu di luar medis yang membuat kesan dokter yang bergerak di bidang ini berbeda dari dokter pada umumnya. Jika mahasiswa ada yang tertarik di bidang ilmu jiwa, malah ada temannya yang meledek kenapa bisa menyukai ilmu ini.
Saya saja ketika di tahap 2 kuliah di FKUI menyatakan keinginan saya menjadi psikiater, banyak teman yang bertanya-tanya mengapa saya memilih bidang ini. Hal ini tentunya akan terbawa sampai mahasiswa dan dokter muda ini menjadi dokter umum dan spesialis. Kesan bahwa ilmu jiwa tidak medis, tidak ilmiah dan identik dengan kegilaan adalah sesuatu yang terus melekat.