Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Water Birth" Berujung Kematian

Kompas.com - 25/05/2012, 08:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Martini Nazif (34), salah seorang pasien bersalin dengan cara water birth harus rela kehilangan anak pertamanya. Bayi yang dikandung Martini meninggal dalam proses persalinan yang ditangani seorang dokter spesialis kandungan berinisial "OS" di salah satu rumah sakit swasta di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Kuasa hukum korban, Nurkholis Hidayat, saat jumpa pers di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Kamis, (24/5/2012) menyatakan Martini tidak mendapatkan penanganan serius dari dokter OS yang bergelar Sp.OG tersebut. Nurkholis mengatakan, banyak peristiwa janggal sebelum dan saat proses persalinan, yang berujung pada kematian bayi pada hari yang sama setelah dilahirkan. Pihak keluarga sempat meminta klarifikasi atas permasalahan tersebut, namun tidak mendapatkan respon baik dari pihak dokter maupun rumah sakit.

"Berbagai upaya sudah dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban dengan musyawarah. Tapi, dari mediasi tersebut pihak rumah sakit tidak memenuhi tuntutan kami," ujarnya.

Nurkholis menceritakan, pada awalnya Martini (korban) adalah pasien di Rumah Sakit Sam Marie dan telah melakukan konsultasi kehamilan kepada dr. OS yang juga berpraktek di rumah sakit tersebut. Salah satu hal yang janggal bagi pasien adalah bahwa selama hamil dokter menyarankan pasien agar mengonsumsi banyak makanan, sampai-sampai bobot tubuhnya jauh melebihi berat badan ideal wanita hamil.

Menjelang persalinan, Martini pernah meminta agar proses persalinan dilakukan dengan cara bedah caesar dan dilakukan di RS Sam Marie. Namun dengan alasan kondisi pasien sehat dan bayi yang dikandung juga sehat, dr. OS menganjurkan agar pasien melakukan persalinan secara normal melalui metode water birth. Akhirnya pasien memilih Rumah Sakit "A" di kawasan Duren Tiga sebagai tempat persalinan, karena rumah sakit itu lebih dekat dengan tempat tinggal pasien.

"Katanya, kalau dengan water birth dapat mengurangi rasa sakit, makanya saya selalu menurut aturan dokter. Tapi ternyata dokter itu malah mengecewakan saya," sambung Martini, yang saat itu didampingi oleh pengacaranya.

Pada 5 November 2011, Martini masuk sebagai pasien rumah sakit A untuk melakukan persalinan dengan cara water birth. Pasien diberikan induksi untuk merangsang rasa mulas. Tiga hari kemudian, baru mulai ada pembukaan ketiga pada rahim pasien. Lalu ia pun masuk ke kolam dan masih diberikan induksi.

"Anehnya, pada saat pembukaan penuh dokter belum datang, sehingga pada saat itu pasien hanya ditemani oleh seorang perawat yang menjaga secara bergantian dan berbeda-beda," jelas Nurkholis.

Saat dokter tiba di rumah sakit A, pasien sudah tidak kuat lagi untuk mengejan dan dokter mengatakan agar divakum saja. Kejanggalan lainnya, pada saat bersamaan ternyata dokter juga tengah menangani pasien lain yang menjalani persalinan dengan water birth, sehingga tidak bisa fokus menangani pasien pada proses persalinan.

"Jadi satu dokter pada saat yang sama harus menangangi dua orang pasien. Ada peminjaman alat dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Bahkan, suami diminta bantuan untuk mengoperasikan salah satu alat. Dari situ mulai ada perasaan tidak nyaman," ujar Taufik Basari, yang juga tim pengacara korban.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau