Jakarta, Kompas - Pemasaran obat harus beretika. Ini untuk mengatasi perilaku tidak etis, seperti praktik suap dan gratifikasi, yang mengancam kualitas pelayanan kesehatan dan reputasi industri farmasi di Indonesia.
Asosiasi perusahaan farmasi asing di Indonesia, International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), merevisi kode etik yang dikeluarkan tahun 2003 untuk meningkatkan komitmen terhadap pemasaran yang beretika. Revisi ini tak hanya mengatur kegiatan promosi, tetapi juga terkait interaksi dengan praktisi kesehatan dan lembaga medis.
”Antara lain mengatur kegiatan praktisi kesehatan ke luar negeri, uang pengganti perjalanan, dan honor dokter sebagai pembicara pada simposium ilmiah. Selain itu, diatur juga pemberian hadiah dan cendera mata yang bersifat promosi, biaya sebagai responden riset, dan sumbangan perusahaan,” kata Ketua IPMG Luthfi Mardiansyah, Rabu (27/6), di Jakarta.
Sebagai contoh, honor dokter sebagai pembicara di simposium ilmiah ditetapkan Rp 6 juta. Dalam satu hari, seorang dokter dibatasi menjadi pembicara maksimal di dua acara. Honor untuk pembicara asing ditetapkan 1.500 euro (sekitar Rp 17 juta).
Direktur Eksekutif IPMG Parulian Simanjuntak menambahkan, berdasarkan data Bank Dunia, sedikitnya 1 triliun dollar AS uang yang beredar di dunia digunakan untuk praktik penyuapan. Hal ini memengaruhi independensi dokter dalam menentukan obat untuk pasien.
Pelanggaran etika di Indonesia dijumpai dalam bentuk antara lain pemberian diskon obat di luar harga wajar, pemberian tiket gratis kepada dokter untuk berlibur ke luar negeri, pemberian komisi, pengobatan gratis, dan sumbangan kepada rumah sakit. Tujuannya, untuk memenangi persaingan di bisnis farmasi.
Kode etik global
Ketua Subkomite Praktik Pemasaran IPMG Allen Doumit mengatakan, untuk mewujudkan pemasaran obat yang beretika, Indonesia bisa mengacu kepada AS dan Eropa. Di sana telah dikeluarkan kode etik tingkat global yang mengikat perusahaan multinasional di mana pun mereka beroperasi.
”Di Amerika, misalnya, November 2011, pengadilan memerintahkan sebuah perusahaan farmasi asal Inggris membayar denda 3 miliar dollar AS atas kasus pemasaran obat off-label (penggunaan untuk indikasi di luar persetujuan FDA), pemalsuan harga, membayar dokter untuk meresepkan dan menyembunyikan data penting obat diabetes,” katanya.
Menanggapi masalah lemahnya penegakan etika pemasaran obat, Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia Prof Agus Purwadianto mengatakan, Indonesia perlu membuat kode etik global. Kode etik yang ada saat ini bersifat parsial. Dokter punya kode etik sendiri, demikian pula perusahaan farmasi dan apoteker.
”Ketika terjadi pelanggaran, penanganan tak bisa tuntas karena kode etik yang ada tak mampu menjangkau semua pihak,” kata Agus.
Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua mengatakan, pelanggaran yang masuk dalam kategori suap dan gratifikasi bisa diproses menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. (NIK)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.