Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/08/2012, 07:43 WIB

Oleh Indira Permanasari

Hepatitis B menjadi ancaman bagi bayi-bayi Indonesia mengingat tingginya infeksi virus itu di masyarakat. Bayi yang terinfeksi virus hepatitis B berisiko mengalami penyakit hati kronis. Namun, penularan virus dapat dicegah dengan vaksinasi segera, maksimal 12 jam setelah dilahirkan.

Di Indonesia, setidaknya ada 25 juta orang terjangkit virus hepatitis B dan hepatitis C. Jumlah penderita hepatitis B jauh lebih besar ketimbang hepatitis C.

Dokter spesialis anak sekaligus konsultan gastroenterohepatologi anak FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Hanifah Oswari, yang juga anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mengatakan, di daerah endemik tinggi hepatitis B, besar kemungkinan perempuan produktif terkena virus dan menularkan virus ke bayi yang dilahirkan.

Sekitar 80 persen orang terinfeksi virus hepatitis B tidak menyadari dirinya membawa virus karena perjalanan penyakit sangat lambat dan tanpa gejala. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan, 9,28 persen perempuan Indonesia membawa virus hepatitis B dalam tubuhnya. Salah satu penanda adanya infeksi virus hepatitis B ialah nilai antigen permukaan Hepatitis B (HBsAg) yang positif.

Ibu dengan HBsAg positif berpeluang 90 persen menularkan virus hepatitis B ke bayi. Sementara ibu dengan HBsAg negatif (hepatitis tersamar) berpeluang menularkan sekitar 40 persen. Menurut Hanifah, penularan virus hepatitis B dari ibu ke bayi paling sering terjadi pada proses persalinan karena ada perlukaan. Adapun penularan pada bayi di kandungan peluangnya 5 persen.

IDAI merekomendasikan vaksin hepatitis B diberikan kurang dari 12 jam setelah bayi lahir. Pemberian vaksin diulang waktu bayi berusia 1 bulan dan 6 bulan. Dalam program nasional pemerintah, vaksin pertama diberikan dalam waktu 0-7 hari.

Pada situasi tertentu bayi tidak cukup hanya mendapat vaksin. Nilai HBeAg ibu menjadi pertimbangan. Antigen E hepatitis B adalah protein dari virus hepatitis B yang beredar dalam darah saat virus aktif bereplikasi. HBeAg positif menandai kecepatan replikasi virus sehingga risiko penularan ke bayi sangat tinggi. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif seharusnya diberi juga Imunoglobulin Hepatitis B (HBIG). HBIG merupakan larutan mengandung antibodi yang mampu melawan virus hepatitis B dan digunakan sebagai imunoprofilaksis (pencegahan lewat kekebalan tubuh) pasif.

HBIG mahal. Di Amerika Serikat, bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif diberi vaksin dan HBIG. Di Taiwan, HBIG baru diberikan jika nilai HBeAg ibu positif. Dua dekade sebelumnya, HBsAg pada anak di kota Taipei, Taiwan, mencapai 10 persen. Setelah vaksinasi hepatitis tahun 1984, anak dengan HBsAg positif turun drastis menjadi 0,6 persen.

Menurut Hanifah, vaksin hepatitis B dan HBIG diberikan kepada bayi pada waktu bersamaan di paha kiri dan kanan kurang dari 12 jam setelah lahir. Sebelumnya, bayi diberi vitamin K untuk menghindari kejadian ikutan pasca-imunisasi berupa pendarahan. Vaksinasi dan HBIG memberikan proteksi hingga 95 persen terhadap virus hepatitis B. Adapun vaksin tanpa HBIG memberi perlindungan sebesar 80 persen.

Ancaman

Kelalaian dalam memberikan vaksinasi berakibat fatal dan membuat masa depan kesehatan anak suram. Hanifah mengatakan, orang dewasa yang terkena hepatitis B pada masa dewasa lebih kecil risikonya menderita gangguan hati kronis yang berujung sirosis (pengerasan) dan kanker hati.

”Kalau ada 10 orang dewasa terkena hepatitis B, 9 orang di antaranya mengalami gangguan hati akut lalu sembuh dan satu orang tetap membawa virus kemudian berkembang menjadi penyakit hati kronis,” Hanifah memaparkan.

Sebaliknya, kata Hanifah, dari 10 bayi yang terinfeksi saat lahir, 9 di antaranya akan berkembang menjadi penyakit hati.

”Pada masa anak, tidak terlihat gejala sakit. Namun, 10-20 tahun pertama muncul gejala seperti peradangan ringan, 20-40 tahun kemudian makin berat, puncaknya 40-50 tahun kemudian dapat terjadi sirosis dan kanker hati,” ujar Hanifah.

Dapat terjadi hepatitis fulminan (gagal hati berat mendadak) pada bayi karena kematian masif sel hati. Hal itu bisa mengakibatkan kematian bayi meski angka kejadiannya kecil.

Lama dan mahal

Hanifah berpendapat, pengobatan hepatitis B pada anak belum dapat diandalkan karena belum terlalu baik hasilnya. Selain itu, tidak semua anak dapat diobati. Anak dengan respons imun buruk tidak dapat menerima baik pengobatan. Sejauh ini pengobatan yang tersedia adalah interferon dan terapi jangka panjang dengan lamivudin.

Keberhasilan pengobatan dengan interferon hanya 20-40 persen pada anak. Interferon disuntikkan seminggu 3 kali selama satu tahun. Efek sampingnya antara lain gejala flu, pegal, pusing, lemas, dan demam. Harga interferon sekitar Rp 1 juta sekali suntik.

Tingkat keberhasilan lamivudin sekitar 30 persen. Terapi dengan lamivudin bisa makan waktu 2 tahun lebih. Penggunaan lamivudin dalam jangka waktu lama dapat menurunkan fungsi hati. Saat ini telah tersedia versi generik dari lamivudin oral sehingga lebih murah.

Menurut Hanifah, pada akhirnya pencegahan dengan vaksin tetap ideal dan efektif menghadapi peperangan dengan virus hepatitis B.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau