KOMPAS.com - Maraknya penggunaan antibiotik tidak bijak mengakibatkan resistensi antimikroba (AMR) atau kondisi ketika mikroba, seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit tidak lagi merespons pengobatan antimikroba.
Resistensi antimikroba menyebabkan kegagalan pengobatan, atau ketidakmampuan untuk mengobati penyebab infeksi.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya menyebut bahwa angka kematian akibat resistensi antimikroba terus meningkat, yakni 1,2 juta kematian pada 2019. Bahkan, diprediksi akan terjadi 10 juta kematian pada 2050 jika penggunaan antibiotik yang tidak rasional terus dilakukan.
Itu sebabnya, penting dilakukan pencegahan resistensi antimikroba dari hulu ke hilir.
Baca juga: Kematian akibat Resistensi Antimikroba Meningkat, Ini Upaya Kemenkes
Berangkat dari isu ini, One Health Collaboration Center (OHCC) Universitas Udayana bersama Pfizer Indonesia dan mitra kerja sama terkait lainnya memprakarsai Program Desa Bijak Antibiotika (SAJAKA). Pada 2024, jangkauan SAJAKA diperluas ke empat desa tambahan di Kecamatan Kediri: Buwit, Nyitdah, Belalang, dan Pejaten Bali.
Program ini menjangkau ratusan warga dan tenaga kesehatan melalui pendekatan lintas sektoral, peningkatan kesadaran keluarga, dan keterlibatan sekolah, tiga faktor krusial untuk mengatasi pandemi senyap resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) di masyarakat. Dalam hal ini, program SAJAKA juga memberikan pelatihan kepada 15 tenaga edukator dan melibatkan tenaga kesehatan.
Dalam rilis yang diterima Kompas.com, Rabu (20/11/2024), koordinator One Health Collaboration Center (OHCC) Universitas Udayana Bali Prof. Dr. dr. Ni Nyoman Sri Budayanti, Sp.MK(K) menekankan pentingnya pencegahan resistensi antimikroba. Pasalnya, jika sudah terjadi akan sulit disembuhkan.
"Harus dicegah terjadi resisten karena kalau sudah (terjadi resistensi antimikroba), maka akan sulit disembuhkan. Apalagum sudah sangat lama sekali terakhir kali ditermukan (antibiotik) sekitar 10 tahun lalu," kata Sri Udayanti.
Langkah pencegahan tersebut bernilai penting untuk dilakukan karena resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah kesehatan yang tidak dapat disepelekan dan kerap kali berujung kematian.
Sri melanjutkan, sejauh ini program edukasi terkait pencegahan resistensi antimikroba sudah berhasil mengedukasi sebanyak 399 ibu rumah tangga di empat desa dan memperkuat peran mereka sebagai pengambil keputusan dalam kesehatan keluarga.
Selain itu, SAJAKA juga menjangkau 419 siswa melalui edukasi interaktif tentang antibiotik dan AMR untuk membangun kesadaran sejak dini.
Baca juga: Resistensi Antimikroba Bisa Jadi Pandemi Baru Bersifat Katastropi
Kini Sri berharap adanya kolaborasi berbagai pemangku kepentingan untuk meningkatkan pencegahan dan pengobatan resistensi antimikroba.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan RI mengimbau masyarakat untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotik.
Masyarakat sebaiknya hanya menggunakan antibiotik ketika diresepkan oleh dokter, sesuai dosis dan durasi yang sudah direkomendasikan. Hindari menggunakan antibiotik yang dibeli tanpa resep atau sisa obat dari perawatan sebelumnya.
Selain itu, masyarakat juga perlu aktif bertanya ke dokter ketika mendapat resep antibiotik, sementara infeksi yang dialami tampak ringan.
Jika Anda memiliki hewan peliharaan, pastikan antibiotik yang diberikan kepada hewan juga digunakan secara bijaksana. Sebab, resistensi dapat terjadi di antara hewan dan manusia.
Untuk menghindari risiko infeksi dan kebutuhan antibiotik, lakukan kebiasaan higienis yang baik seperti mencuci tangan secara teratur. Lakukan vaksinasi yang diperlukan untuk mencegah infeksi yang bisa memerlukan antibiotik jika terjadi.
Kemudian, diskusikan kekhawatiran Anda dengan tenaga medis tentang penggunaan antibiotik dan manfaat serta risikonya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.