KOMPAS.com - Kesalahan diagnosis dan perbedaan penatalaksaan pengobatan dokter yang satu berbeda dengan dokter lainnya sering terjadi di belahan dunia manapun. Di negara yang paling maju dalam bidang kedokteran pun, para dokter masih saja sering melakukan overdiagnosis, overtreatment atau terjadi wrong diagnosis pada penanganan pasiennya.
Begitu juga di Indonesia, perbedaan pendapat para dokter dalam mengobati penderita adalah hal yang biasa terjadi. Perbedaan dalam penentuan diagnosis dan penatalaksanaan mungkin tidak menjadi masalah serius bila tidak menimbulkan konsekuensi yang berbahaya dan merugikan bagi penderita. Tetapi bila hal itu menyangkut kerugian biaya yag besar dan ancaman nyawa maka akan harus lebih dicermati. Sehingga, sangatlah penting untuk melakukan second opinion terhadap dokter lain tentang permasalahan kesehatan tertentu yang belum pernah terselesaikan.
Dengan semakin meningkatnya informasi dan teknologi, maka semakin terbuka wawasan ilmu pengetahuan dan informasi tentang berbagai hal dalam kehidupan ini. Demikian juga dalam pengetahuan masyarakat tentang wawasan dan pengetahuan tentang permasalahan kesehatannya. Terdapat manfaat yang besar bila masyarakat bisa memahami pemasalahan kesehatan yang dialami.
Tetapi sebaliknya, bila informasi yang diterima tidak akurat atau salah dalam menginterpretasikan informasi, maka juga akan membahayakan penanganan permasalahan kesehatannya. Bahkan seringkali karena informasi yang sepotong-sepotong atau salah dalam menginterpretasikan informasi seorang pasien berani menggurui dokter dan terlalu cepat memvonis bahwa dokter salah dan tidak becus. Pasien kelompok demikian ini selalu keras kepala dalam mempertahankan informasi yang didapat tanpa mempertimbangkan masukan dari dokter tentang fakta yang sebenarnya terjadi.
Second opinion
Second opinion atau mencari pendapat kedua yang berbeda adalah merupakan hak seorang pasien dalam memperoleh jasa pelayanan kesehatannya. Hak yang dipunyai pasien ini adalah hak mendapatkan pendapat kedua (second opinion) dari dokter lainnya. Di Indonesia misalnya, ada Undang Undang no. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bagian empat pasal 32 poin H tentang hak pasien menyebutkan: "Setiap pasien memiliki hak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit".
Untuk mendapatkan pelayanan yang optimal, pasien tidak usah ragu untuk mendapatkan "second opinion" tersebut. Memang biaya yang dikeluarkan akan menjadi banyak, tetapi paling tidak bermanfaat untuk mengurangi risiko kemungkinan komplikasi atau biaya lebih besar lagi yang akan dialaminya. Misalnya, pasien sudah divonis operasi caesar atau operasi usus buntu tidak ada salahnya melakukan masukan pendapat dokter lain. Dalam melakukan "second opinion" tersebut sebaiknya dilakukan terhadap dokter yang sama kompetensinya. Misalnya, tindakan operasi caesar harus minta "second opinion" kepada sesama dokter kandungan bukan ke dokter umum. Atau, bila pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan dokter sangat banyak dan mahal, tidak ada salahnya minta pendapat ke dokter lainnya.
Permasalahan kesehatan penting yang memerlukan second opinion :
1. Keputusan dokter tentang tindakan operasi, di antaranya operasi usus buntu, operasi amandel (tonsilektomi), operasi caesar, operasi hordeolum (bintitan), operasi ligasi ductus lacrimalis (mata belekan dan berair terus)dan tindakan operasi lainnya.
2. Keputusan dokter tentang pemberian obat jangka panjang lebih dari 2 minggu, misalnya pemberian obat TBC jangka panjang, pemberian antibiotika jangka panjang, pemberian obat anti alergi jangka panjang dan pemberian obat-obat jangka panjang lannya
3. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemberian obat yang sangat mahal : baik obat minum, antibiotika atau pemberian susu
4. Kebiasaan dokter memberikan terlalu sering antibiotika berlebihan pada kasus yang tidak seharusnya diberikan : seperti infeksi saluran napas, diare, muntah, demam virus, dan sebagainya. Biasanya dokter memberikan diagnosis infeksi virus tetapi selalu diberi antibiotika.
5. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemeriksaan laboratorium dengan biaya sangat besar dan tidak sesuai dengan indikasi penyakit yang diderita
6. Keputusan dokter tentang suatu penyakit yang berulang diderita misalnya : penyakit tifus berulang, pada kasus ini sering terjadi overdiagnosis tidak mengalami tifus tetapi diobati tifus karena hasil pemriksaan laboratorium yang menyesatkan
7. Keputusan diagnosis dokter yang meragukan : biasanya dokter tersebut menggunakan istilah "gejala" seperti gejala tifus, gejala ADHD, gejala demam berdarah, gejala usus buntu. Atau diagnosis autis ringan, ADHD ringan dan gangguan perilaku lainnya.
8. Keputusan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak direkomendasikan oleh institusi kesehatan nasional atau internasional dan tidak memiliki dasar evidance base medicine (kejadian ilmiah berbasis bukti penelitian di bidang kedokteran): seperti pengobatan dan terapi bioresonansi, pemeriksaan alergi IGG4 dikirim ke Amerika, pemeriksaan alergi melalui rambut dan terapi bandul.
Tips melakukan second opinion :
1. Cari second opinion kepada dokter yang sesuai kompetensinya atau keahliannya. Seringkali pasien mendapatkan informasi hanya dari internet tanpa harus diketahui akurasi kebenarannya secara ilmiah. Selain itu, seringkali pasien mendapatkan informasi tidak benar dari teman atau saudaranya yang berprofesi sebagai dokter tetapi tidak sesuai kompetensinya dengan masalah yang dihadapi. Misalnya, saran berbeda dari dokter umum atau dokter penyakit dalam dalam penanganan anaknya yang berusia 1 bulan yang sedang mengalami masalah kegawatan di ruangan NICU. Seringkali opini yang belum tentu benar tersebut membuat pasien bingung dan tidak mempercayai dokter ahli yang merawat bayinya. Bila masalah rumit tersebut terjadi, sebaiknya pasien mencari informasi atau second opinion kepada dokter yang berkompenten misalnya dokter anak ahli neonatologi.
2. Rekomendasi atau pengalaman keberhasilan pengobatan teman atau keluarga terhadap dokter tertentu dengan kasus yang sama sangat penting untuk dijadikan referensi. Karena, pengalaman yang sama tersebut sangatlah penting dijadikan sumber referensi.
3. Carilah informasi sebanyak-banyaknya di internet tentang permasalahan kesehatan tersebut. Jangan mencari informasi sepotong-sepotong, karena seringkali akurasinya tidak dipertanggung jawabkan. Carilah sumber informasi internet dari sumber yang kredibel seperti : WHO, CDC, IDAI, IDI atau organisasi resmi lainnya.
4. Bila keadaan emergensi atau kondisi tertentu maka keputusan second opinion juga harus dilakukan dalam waktu singkat hari itu juga, seperti : operasi usus buntu.
5. Mencari second opinion terhadap dokter yang dapat menjelaskan dengan mudah, jelas, lengkap dan dapat diterima dengan logika. Biasanya dokter tersebut akan menjelaskan tidak berbelit-belit dan mudah diterima. Dokter yang cerdas dan bijaksana biasanya tidak akan pernah menyalahkan keputusan dokter sebelumnya atau tidak akan pernah menjelek-jelekkan dokter sebelumnya atau menganggap dirinya paling benar.
6. Bila melakukan second opinion sebaiknya awalnya jangan menceritakan dulu pendapat dokter sebelumnya atau mempertentangkan pendapat dokter sebelumnya, agar dokter terakhir tersebut dapat obyektif dalam menangani kasusnya. Kecuali dokter tersebut menanyakan pengobatan yang sebelumnya pernah diberikan atau pemeriksaan yang telah dilakukan.
7. Bila sudah memperoleh informasi tentang kesehatan, jangan menggurui dokter yang anda hadapi karena informasi yang anda dapat belum tentu benar. Tetapi sebaiknya anda diskusikan informasi yang anda dapat kemudian mintakan pendapat dokter tersebut tentang hal itu.
8. Bila pendapat kedua dokter tersebut berbeda, maka biasanya penderita dapat memutuskan salah satu keputusan tersebut berdasarkan argumen yang dapat diterima secara logika. Atau, dalam keadaan tertentu ikuti advis dari dokter tersebut bila terdapat perbaikan bermakna dan sesuai penjelasan dokter maka keputusan tersebut mungkin dapat dijadikan pilihan. Bila hal itu masih membingungkan, tidak ada salahnya melakukan pendapat ketiga. biasanya dengan berbagai pendapat tersebut penderita akan dapat memutuskannya. Bila pendapat ketiga tersebut masih sulit dipilih biasanya kasus yang dihadapi adalah kasus yang sangat sulit.
9. Keputusan second opinion terhadap terapi alternatif sebaiknya tidak dilakukan karena pasti terjadi perbedaan pendapat dengan pemahaman tentang kasus yang berbeda dan latar belakang ke ilmuan yang berbeda.
10. Kebenaran ilmiah di bidang kedokteran tidak harus berdasarkan senioritas dokter atau gelar profesor yang disandang. Tetapi berdasarkan kepakaran dan landasan pertimbangan kejadian ilmiah berbasis bukti penelitian di bidang kedokteran (evidance base medicine).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.