Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/05/2013, 22:24 WIB

KOMPAS.com  "Dokter saja merokok!"... Ungkapan ini sering saya dengar di tengah-tengah masyarakat. Sering juga saya merawat pasien dengan keluhan batuk dan sesak napas yang penyebabnya atau paling tidak faktor pencetusnya adalah rokok. Ketika saya mencoba untuk memotivasinya untuk tidak merokok, jawabannya kira-kira seperti itu, sambil menyebut nama seorang dokter yang cukup terkenal di kota kecil tempat saya praktik.

Dokter yang perokok menurut pengamatan saya cukup banyak. Penelitian yang dilakukan di China, sekitar 32  persen dokter pria di sana merokok. Di Banglades, persentasenya lebih tinggi lagi. Di Amerika Serikat lebih kecil, sekitar 5 persen dokter adalah perokok dan ada kecendrungan kuat penurunan dokter yang merokok sekarang di negara Paman Sam itu.

Di Indonesia, angka dokter yang merokok belum saya dapatkan. Namun, saya punya beberapa teman sejawat, ahli penyakit dalam, ahli jantung, bahkan ahli paru yang perokok. Kabarnya, sebagian dari sejawat itu sudah berhenti merokok. Sayang, mereka baru berhenti ketika sudah mengalami komplikasi seperti serangan jantung, penyakit paru, keganasan, dan lain-lain.

Dalam pertemuan perhimpunan dokter ahli, ahli apa saja, termasuk ahli jantung, penyakit dalam, bahkan ahli paru, melihat dokter yang merokok bukan hal yang janggal. Melihat asbak rokok di meja praktik dokter bukan hal yang aneh pula. Ungkapan "dokter saja merokok" bagi masyarakat banyak seolah-olah menjadi pembenaran bahwa merokok tidak menjadi masalah karena seorang dokter juga melakukan hal yang sama.

Kalau ada pernyataan seperti itu, biasanya saya mengatakan, "Bapak jangan mencontoh yang salah!" Tapi, kebanyakan pasien tidak dapat menerima jawaban demikian. "Apakah seorang dokter boleh melakukan hal yang salah kalau memang merokok itu berbahaya, tidak baik untuk kesehatan, apakah seorang dokter masih tetap melakukannya?"

Bagi kami, dokter itu adalah contoh, panutan, bagi kami dokter itu adalah seorang yang sangat istimewa, yang tidak boleh ada cacat dan kekurangan". Demikian kira-kira apa yang disampaikan pasien kepada saya.

Sesuai dengan misi profesi seorang dokter, apa yang menjadi anggapan pasien di atas saya kira adalah tidak salah. Dokter seperti dianggap sebagai manusia yang sempurna, sakit pun kadang-kadang dianggap aneh. Kalau saya lagi flu, misalnya, sering pasien memberi komentar, "Dokter bisa sakit ya?"

Citra dokter yang bersih, rapi, tindak, perilaku, sikap yang baik, ramah, dan terpuji, sampai sekarang masih melekat pada diri seorang dokter. Profesi dokter memang tidak sama dengan profesi lain, misalnya advokat. Seorang advokat boleh saja bersuara keras, lantang, berteriak di tengah jalan pun, barangkali orang tidak akan peduli. Tidak demikian dengan seorang dokter, kalau dia melakukan sesuatu yang menurut ukuran masyarakat tidak elok, patut, masyarakat akan berkomentar, "Dokter kok begitu?"

Ini menunjukkan seolah-olah ada stigma sendiri baik perilaku, etika, maupun moral yang melekat pada diri seorang dokter. Sayang, tidak semua dokter dapat memahaminya, bahwa perilakunya, kebiasaannya, tidak hanya dinilai oleh masyarakat pada saat dia melayani pasien di kamar periksa atau di rumah sakit, tetapi juga di tengah-tengah pergaulan luas masyarakat.

Sehubungan dengan itu, saya tidak dapat membayangkan bila seorang dokter yang merokok, kemudian punya pasien yang harus berhenti merokok. Apakah nasihatnya akan didengar? Saya kira sangat sulit. Padahal, seorang dokter punya tanggung jawab moral memberikan yang terbaik untuk pasiennya, termasuk nasihat-nasihatnya.

Oleh karena itu, harapan saya, semua dokter atau bahkan siapa pun yang berkeja di institusi kesehatan sebaiknya tidak merokok dan akan memosisikan dirinya sebagai agent of change, role model, perubahan perilaku yang sehat, termasuk tidak merokok. Bayangkan, ada puluhan ribu dokter dan puluhan ribu tenaga kesehatan lainnya di Indonesia. Jika saja mereka bisa berperan berkampanye antirokok dan dapat menghentikan satu orang pasien saja dari kebiasaan merokok setiap harinya, dalam satu tahun, ribuan nyawa pasien Insya Allah dapat diselamatkan. Kesakitan, kematian prematur dapat dicegah.

Seperti dikatakan di atas, bahwa kebiasaan, perilaku dokter, dapat menjadi contoh, suri teladan bagi masyarakat banyak, apalagi di daerah pedesaan. Perlu juga diingat, profesi dokter tidak hanya terkait dengan upaya penyembuhan, mengobati mereka yang sudah sakit, tetapi adalah upaya pencegahan, promosi agar mereka tidak jatuh sakit. Karena itu, rasanya tidak elok seorang dokter itu merokok... "Anda tidak mungkin menganjurkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang Anda sendiri tidak menjalaninya."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau