Nostalgia di Gondangdia

Kompas.com - 10/06/2013, 08:42 WIB

”Kadang datang orang-orang Belanda yang pernah tinggal di sini hingga tahun 1940-an akhir. Ketika berkunjung, mereka mampir makan di Trio,” ujar Effendy. Dia juga mengingat sejumlah pesohor yang pernah menjadi pelanggannya, antara lain pengamat politik William Liddle, mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, dan desainer Iwan Tirta.

Panjangnya usia restoran itu berjejak pada pembauran dalam menu. Ada huzaren sla ala Belanda yang terdiri dari kentang, bit, wortel, apel, pir, daun selada, mentimun, irisan halus daging sapi, taburan keju, irisan telur, serta siraman saus. Menu lainnya adalah kamar bola (sebutan untuk rumah sosial pada zaman Belanda). Masakan itu terdiri atas campuran sayuran yang dimasak dengan tambahan saus tomat lalu dihias irisan tomat dan bola ikan dibelah dua.

Bakmi dan sup buntut

Tak hanya Restoran Trio tempat santap nostalgia di Gondangdia. Seiring meriapnya perkantoran, rumah makan pun makin banyak hadir di Gondangdia, mulai dari yang menyajikan gado-gado, mi, bubur ayam, nasi uduk, hingga sup buntut.

Di sudut lain Jalan RP Soeroso, dekat rel kereta Cikini-Gondangdia, berdiri rumah makan mi (juga bercat hijau). Konon rumah makan itu berdiri sejak tahun 1960-an dan setia menghidangkan ragam mi, mulai dari mi goreng, mi kuah, kwetiau, bakso, hingga pangsit. Begitu memasuki rumah makan itu, pelanggan langsung ”disambut” dapur tempat meracik makanan. Uap godokan kaldu dari panci mengepul dan menyebar harum gurih ke jalan.

Helaian mi tipis, rajangan daging ayam, dan bakso berpadu nikmat dengan kuah bertabur daun bawang yang disajikan dalam mangkuk terpisah. Ketika jam makan siang, ruang dalam bangunan lama itu pun sesak oleh penggemar mi.

Masih di kawasan Gondangdia, tepatnya di pinggir Jalan Menteng Kecil 1, di seberang Masjid Cut Mutia, rumah makan sederhana yang dikenal sebagai Sup Buntut Semoga (Hj Nurjanah) melayani pelanggannya sejak tahun 1968. Warung makan itu menyerupai lorong yang menempel pada tembok pinggir jalan. Namun, saat jam makan siang tiba, mobil-mobil pelanggan berdesakan parkir di sekitarnya.

”Lokasi warung tidak berubah. Bangku juga segini aja,” ujar Muryadi (60), suami Darmawati (50). Pasangan itu yang kini mengelola warung sup buntut. Rumah makan itu didirikan oleh almarhumah Nurjanah, ibu Darmawati. ”Insya Allah, resepnya tidak berubah sejak tahun 1970. Warung sup buntut ini bertahan karena kami menjaga rasa,” ujar Muryadi yang mengolah sekitar 50 kg buntut setiap hari.

Tak berapa lama semangkuk sup pesanan tiba. Daging buntut yang lembut dan gurih terimbangi segarnya kuah sup yang kemerahan oleh irisan tomat. Kaldu sup juga tak pekat.

Semula warung itu menyajikan masakan Padang (Sumatera Barat), tempat asal Nurjanah. Nurjanah menjadi ”angkatan pertama” dalam keluarganya yang merantau ke Jakarta. ”Mertua saya coba-coba menyajikan sup buntut, ternyata disukai. Akhirnya hanya menjual sup buntut,” ujarnya.

Sambil menghirup aroma sup buntut yang mengambang di udara, ingatan pun melayang-layang lalu hinggap pada secuil penggalan lagu ”Keroncong Tugu”.

”Dari mana mau ke mana. Jiwa manis mau ke mana. Oooo... nona, potonglah rumput, potonglah rumput di tengah sawah. Cikini di Gondangdia, saya kesini lantaran dia, lalalala ooo...”.

Ya, saya di sini (Gondangdia) karena nostalgia. (Indira Permanasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang

    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau