Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/06/2013, 17:30 WIB
Unoviana Kartika

Penulis


KOMPAS.com - Jumlah kasus baru epilepsi terus bertambah seiring meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan penyakit ini.

Data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) tahun 2012 menyebutkan, perkiraan penderita epilepsi aktif saat ini yaitu mencapai 1,8 juta per 220 juta penduduk. Sedangkan perkiraan penderita epilepsi baru yaitu 250.000 penderita pada tahun 2012.

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) epilepsi menyerang 1 persen penduduk dunia. Prevalensi epilepsi rata-rata mencapai 8,2 per 1000 penduduk. Sementara kasus baru epilepsi lebih banyak terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia yang rata-rata diperkirakan mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Pada negara maju kasus baru terjadi rata-rata 50 per 100.000 penduduk per tahun.

Menurut spesialis saraf dari Rumah Sakit Islam Pondok Kopi dr. Gea Pandhita, kasus baru lebih banyak ditemukan di negara berkembang lantaran penduduknya sudah mulai sadar akan gejala penyakit ini. Hal tesebut menjadikan penyakit ini dapat lebih banyak terdeteksi.

"Dulu, epilepsi lebih sering dianggap hasil dari guna-guna atau kutukan, sehingga penyandangnya tidak mendapatkan perlakuan medis yang tepat. Meskipun hingga kini masih ada yang menganggap demikian," papar Gea dalam seminar edukasi yang diadakan oleh RSI Pondok Kopi dan SOHO Grup di Jakarta, Kamis (27/6/2013).

Faktanya, lanjut Gea, epilepsi merupakan salah satu gangguan fisik yang diakibatkan ketidaknormalan aktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak (bangkitan). Seseorang dikatakan mengidap epilepsi apabila ia mengalami bangkitan berulang, berselang lebih dari 24 jam, yang timbul tanpa provokasi.

"Manifestasi klinik dari bangkitan epilepsi terjadi secara tiba-tiba dan sementara, berupa perubahan perilaku yang sterotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motirik, sensorik, otonom, ataupun psikis," tutur direktur pelayanan klinik RSI Pondok Kopi ini.

Gea memaparkan, bangkitan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pengaruh perintah dan penghantarannya pada sel-sel saraf otak. Ketidakseimbangan dapat terjadi karena tingginya senyawa penghantar rangsang (neurotransmitter) pada area tertentu pada otak.

Umumnya gejala epilepsi yang kerap muncul yaitu kejang, terkejut, melamun tak sadarkan diri dalam beberapa saat, dan kaku sesaat.

Kendati demikian, Gea mengatakan epilepsi sebagian besar dapat diobati. "Semakin cepat terdeteksi dan diberi pengobatan maka semakin besar kemungkinan untuk sembuh," pungkas staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau