Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/07/2013, 18:06 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com - Jajanan berbahaya menjadi topik yang seolah tak pernah usai dibahas. Keamanan pangan menjadi salah satu hal yang sangat dikhawatirkan para orangtua. Pangan yang mengandung berbagai zat aditif berbahaya akan mengancam tumbuh kembang buah hati kesayangan mereka.

Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran Kunti Handani (28) terhadap buah hatinya yang menginjak kelas 2 sekolah dasar. Kunti sadar putrinya Aliza Saqina (6) tak mungkin lepas dari jajanan. Jam sekolah yang baru usai pukul 2 siang, membuat putrinya harus selalu penuh energi. Jajanan dan bekal bernutrisi menjadi jalan keluar bagi putrinya yang sedang aktif tumbuh.

"Saya takut sekali sama jajanan anak zaman sekarang. Warna sausnya merah sekali, belum es atau gorengan. Tapi hampir semua seperti itu, anak seperti dikepung," kata Kunti saat dihubungi Kompas.com pada Sabtu (27/7). Sebagai jalan keluar, Kunti memilih tidur agak larut demi menyiapkan bekal bagi putrinya.

Selain itu, Kunti juga selalu menyetok camilan bagi buah hatinya. Setiap belanja, Kunti selalu membeli banyak jenis camilan untuk simpanan satu bulan. Camilan tersebut meliputi biskuit, cake atau susu kotak. Semuanya produk jajanan dipastikan sudah memperoleh izin edar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Kalau begini saya merasa lebih tenang. Kalau Iza minta jajan langsung saya kasih stoknya. Tiap berangkat sekolah, Iza saya bekelin nasi kotak sama camilan," kata Kunti.

Kunti juga selalu mengingatkan buah hatinya untuk sarapan sebelum beraktivitas, baik saat sekolah maupun libur.

Kendati begitu, Iza mengakui tak berarti sang putri bisa sama sekali tidak jajan. Dalam seminggu, Kunti memberi izin Iza untuk jajan di sekolah 2 atau 3 kali. Ia kasihan melihat Iza yang sepertinya sangat ingin mencicipi apa yang dimakan teman-temannya. Meski begitu dengan frekuensi jajan yang tak sesering teman Iza lainnya, Kunti bisa tersenyum lega.

Setiap orangtua tentu menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya, termasuk pangan sehari-hari. Pangan berbahaya seyogyanya dihindari dari kehidupan anak-anak.

Namun kenyataan berkata lain. Data dari BPOM RI menyebutkan, pada 2012 sebanyak 24 persen jajanan anak sekolah masuk kategori berbahaya. Jajanan ini mengandung formalin sebesar 27,3 persen, boraks sebesar 66,7 persen, dan rhodamin B sebesar 10,9 persen. Bahan ini tak seharusnya ada dalam makanan karena fungsi sebagai pengawet mayat dan pewarna tekstil. Jajanan ini juga mengadung bahan tambahan pangan (BTP), misalnya pemanis buatan.

"Pengawasan jajanan berbahaya harus dilakukan pemerintah bersama komunitas sekolah, termasuk orangtua. Kewaspadaan orangtua akan menghindarkan anak dari pangan dan jajanan berbahaya," kata Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM, Roy Sparingga pada Seminar Guru, Sehatnya Duniaku : Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu, dan Bergizi.

Komunitas yang sudah sadar pentingnya jajanan sehat, lanjut Roy, akan bersama menyediakan pangan ini bagi anaknya. Komunitas juga yang akan beraksi terhadap penjual 'nakal,' yang menggunakan bahan berbahaya tersebut.

Hal senada dikatakan staf ahli Menkokesra RI, dr.Tubagus Rahmat Sentika Sp.A.,MARS. "Kita masih rendah dalam pengawasan pangan jajan anak sekolah. Karena itu orangtua harus aktif supaya anak terbentengi dari pangan jajan berbahaya," ujarnya

Anak tidak mungkin dipisahkan dari jajanan. Rahmat mengatakan, dalam keadaan normal, tubuh akan kosong setelah 6-8 jam. Sebetulnya bekal bisa menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan, namun hal ini hanya dilakukan 12 persen anak. Akibatnya jajanan menjadi sumber nutrisi utama.

Karena itu, Rahmat menyarankan orangtua sedini mungkin menanamkan makanan yang layak atau tidak dimakan. Bila dalam sehari-hari anak terbiasa makan hidangan yang bersih dan kaya nutrisi, maka dia akan menolak makan pangan yang kotor dan minim gizi. Rasa yang terlalu tajam biasanya juga akan ditolak anak, jika dia tidak terbiasa.

Rahmat juga menyarankan pembiasaan sarapan tiap pagi, dan cuci tangan sebelum makan. "Tidak masalah anak jajan. Tapi anak harus tahu dimana dia bisa jajan, dan makanan seperti apa yang bisa disantap," ujarnya.

Guru, pemegang peran kunci

"Percaya atau tidak, guru ikut berperan dalam pembentukan kebiasaan jajan pada anak. Anak SD lebih takut pada guru dibanding orangtua," kata psikolog anak, Dr. Rosemini A.P, M.Psi.  Akibatnya, bila guru jajan pangan berbahaya, anak yang menjadi murid akan melakukan hal yang sama.

Rose menyarankan guru untuk memberi contoh yang baik bagi muridnya, misalnya tidak asal jajan. Melalui pembiasaan ini anak bisa diajak memahami manfaat tidak jajan sembarangan. Anak juga bisa mengetahui keuntungan mengkonsumsi makanan bergizi.

Mekanisme penghargaan juga bisa diberikan. "Bila anak ketahuan jajan sembarangan bisa dikasih hukuman. Tapi harus yang mengajarkan pentingnya tidak jajan sembarangan, karena dikhawatirkan mengandung zat berbahaya," kata Rose.

Rose juga menyarankan diadakannya sesi makan bekal bersama. Pada sesi ini anak bisa melihat dan menyantap makanan yang dikategorikan sehat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau