Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/11/2013, 12:30 WIB
Wardah Fajri

Penulis

KOMPAS.com - Individu dengan gangguan sindrom autisma atau masyarakat awam menyebutnya anak autis, perlu mendapatkan terapi untuk menyusul perkembangan sesuai anak seusianya. Namun, tak semua terapi bisa berhasil. Pemulihan autisma bergantung pada beberapa faktor, mulai kondisi anak itu sendiri (berat atau tidaknya autisma), juga kegigihan dan konsistensi orangtua, juga persepsi masyarakat.

Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dan psikiater anak, dr Melly Budhiman, SpJK, mengatakan keberhasilan terapi autisma 10-20 persen.

"Banyak yang tidak berhasil, karena terapi tergantung kondisi anak, apakah ia mengalami autisma berat atau tidak. Orangtua juga punya peran penting. Kebanyakan orangtua down, tapi ada juga yang bangkit, gigih dan konsisten menjalani terapi,"ungkapnya saat dihubungi Kompas Health beberapa waktu lalu.

Menurut Melly, penanganan autisma membutuhkan kerja tim ahli yang memang kompeten. Tidak semua psikolog bisa memahami anak autis. Bahkan, lanjutnya, banyak yang salah diagnosa. Pemberian obat juga tak bisa sembarangan. Hanya anak dengan kondisi tertentu yang membutuhkan obat selain terapi tentunya.

Melly menjelaskan, pada beberapa anak dengan gangguan sindrom autisma, pemulihan akan lebih sulit tercapai. Seperti anak yang sangat hiperaktif, IQ kurang, sulit bicara.

"Terapi bisa saja dilakukan tapi sulit untuk pulih," terangnya.

Faktor inilah yang juga menjadi pertimbangan YAI dalam memberikan bantuan kepada anak dengan gangguan sindrom autisma dari orangtua yang tidak mampu.

"Bantuan terapi diberikan kepada mereka yang memiliki kemungkinan untuk pulih. Karena terapi membutuhkan biaya besar, dan sumber dana kami terbatas," ungkapnya.

Terapi anak dengan gangguan sindrom autisma butuh banyak waktu dan biaya. Terapi umumnya dilakukan dua jam setiap harinya, lima kali seminggu. Evaluasi biasanya berlangsung setiap tiga bulan, dan satu tahun. Per jamnya, terapi membutuhkan biaya mulai Rp 75.000 hingga Rp 125.000 per jam.

Melly menyebutkan, anak dengan gangguan sidrom autisma menjalani sejumlah terapi di antaranya: terapi perilaku, terapi okupasi (otot halus), terapi bicara, terapi sensori integrasi (otot kasar).

Waktu dan biaya inilah yang juga turut menentukan keberhasilan terapi autisma. Kegigihan orangtua untuk menepati jadwal terapi punya dampak besar. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan terapi ini.

"Orangtua yang gigih dan konsisten melakukan terapi untuk anaknya biasanya hasilnya bagus," ungkapnya.

Keberhasilan terapi juga bergantung pada penerimaan orangtua. Dengan menerima bahwa anak dengan gangguan sindrom autisma adalah anak yang berbeda, orangtua akan lebih mengerti kebutuhan anak autis.

Penerimaan orangtua menjadi penting karena masyarakat belum banyak mengerti autisma. Seringkali masyarakat mengucilkan anak dan keluarganya, bahkan kerap terjadi diskriminasi hingga bullying di sekolah pada anak-anak dengan gangguan sindrom autisma.

Tak sedikit juga masyarakat ketakutan dengan keberadaan anak autis, lantaran khawatir anak-anaknya tertular. Kondisi semacam ini menjadi tantangan yang tak mudah bagi para orangtua dari anak dengan gangguan sindrom autisma.

"Saat mengetahui anaknya autis, seringkali orangtua shock, lalu melewati fase marah, tidak menerima, hingga akhirnya menerima, lalu anak menjalani terapi dan jika dibutuhkan anak diberi obat," jelasnya.

Mengenai obat, Melly menegaskan, obat hanya diberikan kepada anak dengan gangguan sindrom autisma hanya jika ia tidur malam dua jam saja. Anak yang hiperaktif dan agresif juga membutuhkan obat. Pemberian obat ada dosis yang disesuaikan kondisi dan usia anak.

"Obat psikotropis hanya bekerja di otak saja, ini yang diberikan kepada anak dengan gangguan sindrom autisma," terang Melly.

Selain terapi dengan ahli, dan pemberian obat bagi anak dengan kondisi tertentu, anak dengan gangguan sindrom autisma juga perlu latihan. Dalam hal ini, anak membutuhkan bantuan orangtuanya.

"Anak mesti dilatih, diajak naik bus, pergi ke supermarket, supaya mereka terlatih saat berada di tempat umum," kata Melly.

Untuk berhasil menjalani latihan, kuncinya terletak pada orangtuanya. Jika persepsi masyarakat tak mudah diubah, maka keberanian dan kegigihan orangtua lah yang menjadi penentu keberhasilan latihan ini. Meski begitu, bukan berarti masyarakat tak punya peran. Perubahan persepsi masyarakat mengenai autisma akan sangat mendukung pemulihan anak-anak dengan gangguan sindrom autisma.

Kondisi di masyarakat inilah yang juga menjadi alasan YAI beberapa kali menggelar kampanye peduli autisma. Tujuannya, selain memberi dukungan moral pada para orangtua, YAI juga ingin mengajak masyarakat bersikap lebih menerima dan mengerti anak-anak yang berbeda ini, anak dengan gangguan sindrom autisma. Dengan harapan, anak-anak ini bisa pulih dan mampu mengejar ketertinggalan perkembangannya sesuai anak seusianya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com