Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/02/2014, 12:10 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com– Tepat satu bulan setelah pelaksanaan resminya pada awal Januari 2014, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih menuai berbagai keluhan. Pendanaan, kepesertaan, dan mekanisme pelayanan menjadi 3 hal yang banyak dipertanyakan.

Terkait hal ini, Wakil Menteri Kesehatan RI Ali Ghufron Mukti mengatakan, adalah hal yang biasa bila suatu program tidak berjalan sempurna pada awal pelaksanaannya.

“Wajar jika JKN bolong-bolong karena memang masih banyak yang perlu diperbaiki, baik dari regulasi, mekanisme, maupun sosialisasi. Namun lubang yang ada mari kita tutup bersama jangan lantas diperbesar,”ujarnya pada diskusi bertema JKN bersama Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) di Jakarta pada Selasa (4/2/2014).

Ali mencontohkan, Jerman yang telebih dulu melaksanakan program jaminan kesehatan bagi para warganya. Negara ini membutuhkan 100 tahun sebelum bisa menyempurnakan dan melaksanakan sistem jaminan kesehatan dengan baik.

Implementasi JKN, kata Ali, memerlukan perubahan yang mendasar dan komprehensif. Salah satunya adalah perubahan pola pikir dan perilaku tenaga kesehatan serta masyarakat. Hal ini terkait sifat JKN yang merupakan asuransi sosial, sehingga tidak memberi keuntungan layaknya asuransi swasta.

Sayangnya, sifat sosial tersebut belum dipahami tenaga dan fasilitas kesehatan sepenuhnya. Akibatnya, rumah sakit maupun puskesmas masih berfikir adakah keuntungan yang bisa ditarik dari penerapan JKN, yang menggunakan sistem kapitasi dan INA-CBG’s. Padahal, asuransi sosial tidak menyediakan banyak keuntungan bagi penyedia layanan jasa, layaknya fee for services. Hal ini dikarenakan kapitasi dan INA-CBG’s menekankan pengobatan efektif bagi masyarakat.

Sedangkan untuk masyarakat, JKN mengharuskan upaya pencegahan dibanding pengobatan. JKN juga mengharuskan sistem rujuk berjenjang, yang dimulai dari puskesmas hingga rumah sakit tingkat tiga. Hal ini jelas berbeda dengan penerapan sistem asuransi sebelumnya, yang membolehkan masyarakat berobat langsung ke rumah sakit tanpa melalui puskesmas.

“Penerapan JKN ini pasti akan banyak masalah baik di masyarakat maupun layanan kesehatan. Penerapan JKN mengharuskan perubahan pola pikir dan perilaku yang tentunya tidak mudah. Belum lagi berbagai masalah teknis dan regulasi yang terus diperbaiki,” kata Ali.

Terkait regulasi, Ali mengatakan, waktu yang tersedia untuk menyusun berbagai aturan memang sangat sempit. Dalam satu tahun, pihaknya harus menyelesaikan 5 peraturan presiden dan 8 peraturan pemerintah, terkait pelaksaan JKN. Padahal idealnya 1 peraturan pemerintah membutuhkan waktu 3 tahun.

Kendati begitu, Ali menolak anggapan JKN adalah program yang telalu dipaksakan. “Waktunya memang sempit namun kita bisa berjalan sambil terus memperbaiki regulasi, sistem, dan terus sosialisasi. Kita bisa melaksanakan sistem ini, meski roadmap yang tersedia hanya 5 tahun sangat berbeda dengan Jerman yang sampai 100 tahun,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau