Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/01/2014, 20:51 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com –Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih menimbulkan tanya. Tak hanya di kalangan masyarakat, aplikasi JKN juga masih membingungkan tenaga layanan kesehatan, salah satunya bidan. Hal ini dikarenakan sebagian bidan berpraktik sendiri, tidak gabung bersama puskesmas atau rumah.

“Dulu waktu masih pakai Jampersal dan Jamkesmas, bidan yang praktik sendiri bisa langsung bekerja sama dengan BPJS. Dengan adanya JKN kita harus gabung dulu dengan puskesmas, kalau tidak kita tak dibayar. Padahal bagaimana mekanisme kerja sama ini belum jelas,” kata Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Emi Nurjasmi, kepada KOMPAS Health.

Kebingungan ini ditambah biaya jasa bidan yang masuk kategori non kapitasi. Hal ini menyebabkan biaya jasa bidan disetorkan dalam keadaan terpisah. Tidak adanya kapitasi, kata Emi, menyebabkan jasa medik bidan dibayar per kunjungan atau fee for services.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 69/2013 tentang pengaturan biaya untuk fasilitas kesehatan primer dan lanjutan, terdapat 8 praktik kebidanan yang semuanya masuk dalam non kapitasi. Biaya non kapitasi adalah besaran pembayaran klaim berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.

Praktik tersebut adalah pemeriksaan antenatal care (ANC) sebesar Rp. 25.000, persalinan normal sebesar Rp. 600.000, penanganan perdarahan pascakeguguran melalui persalinan normal dengan tindakan emergensi dasar sebesar Rp. 750.000, dan pemeriksaan PNC/neonates sebesar Rp. 25.000

Selain itu, masih ada pelayanan tindakan paska persalinan sebesar Rp. 175.000, pelayanan pra rujukan pada komplikasi kebidanan dan usai kelahiran sebesar Rp. 125.000, pelayanan KB meliputi suntik seharga Rp. 15.000 dan pemasangan IUD sebesar Rp. 100.000, yang terakhir adalah penanganan komplikasi KB pascapersalinan sebesar Rp. 125.000.

“Yang penting ada penjelasan dulu terkait bidan yang praktik sendiri. Apalagi dari jumlah bidan yang lebih dari 250 ribu, namun hanya 50 ribu yang gabung dengan puskesmas, sebagian besar praktik sendiri. JKN ini bagi bidan masih mengawang, karena kita belum tahu bagaimana mekanisme pelaporannya dan berapa yang didapatkan,” kata Emi.

Emi berharap bagaimanapun mekanisme dan berapa persen kapitasi yang diperoleh, bidan memperoleh insentif tetap per bulannya. Insentif tersebut supaya bidan tidak khawatir pada pendapatannya tiap bulan. Insentif ini tentunya di luar perolehan dari sisa biaya kapitasi, yang bergantung pada jumlah pelayanan per bulan.

“Kita berharap dalam satu bulan bidan memperoleh Rp. 2 juta – Rp. 3 juta, di luar kapitasi. Penjelasan ini harus segera diberikan, karena bidan banyak yang berpraktik di daerah terpencil dan perbatasan. Kami berharap untuk daerah tersebut bidan tidak perlu kerja sama dengan puskesmas untuk memperoleh biaya non kapitasi,” katanya.

Batasi kelahiran

Sesuai mekanisme pembayaran yang masih menggunakan fee for services, Emi mengharapkan ada pembatasan jumlah kelahiran. Bila tidak dibatasi anggaran pemerintah bisa jebol, karena pembayaran dilakukan per layanan.

"JKN ini menggunakan biaya non kapitasi untuk praktik kebidananm yang dibayar per layanan. Kalau tak dibatasi, artinya sampai kelahiran berapapun akan ditanggung. Jika terus begini tidak baik untuk keuangan pemerintah," kata Emi yang mengusulkan dua anak sebagai jumlah ideal yang ditanggung JKN.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau