Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/03/2014, 14:55 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com —
Pola asuh menentukan karakter anak saat sudah dewasa. Dengan pola asuh yang benar, seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang baik dan penuh pertimbangan, baik terhadap lingkungan maupun dirinya.
 
Namun apa jadinya jika anak mendapat pengasuhan yang salah? Dampaknya dapat dilihat pada kasus pembunuhan Ade Sara Angelina Suroto yang ramai dibicarakan belakangan ini. Dalam kasus ini, korban dibunuh secara keji oleh Ahmad Imam Al Hafitd yang juga mantan pacar korban. Hafitd melakukan pembunuhan terhadap Ade menggunakan alat kejut listrik dengan dibantu oleh pacar barunya, Assyifa Ramadhani.
 
Di mata psikolog Elly Risman, perilaku keji yang ditunjukkan Hafitd dan pacar barunya merupakan indikasi bahwa mereka tidak mendapatkan kasih sayang dan pola asuh yang tepat dari orangtua sejak kecil.
 
“Kemungkinan pelaku banyak menerima bentakan, sindiran, atau perbandingan dari orangtua saat masih kecil. Akibatnya, pelaku mencari cara menetralkan perasaan buruk yang timbul, dengan berbagai hal yang sebenarnya berdampak negatif bagi dirinya,” kata psikolog Elly Risman pada KOMPAS Health, Minggu (9/3/2014).
 
Proses menetralkan perasaan, kata Elly, bisa dengan berbagai cara antara lain menonton video kekerasan, bermain game, hingga melakukan bully.
 
Perpaduan keduanya, lanjut Elly, berefek buruk pada proses perkembangan anak. Perpaduan keduanya juga merusak area otak yang berada di atas alis mata bagian kanan, yang disebut cortex.
 
Padahal, bagian ini menentukan kontrol diri, emosi, dan menimbang berbagai dampak perbuatan dirinya pada orang lain. Bagian ini pula yang membedakan manusia dengan mamalia lainnya.
 
“Kalau cortex sudah rusak maka cara kerja otak menjadi salah, atau oleh peneliti Dean Belnap kerap disebut the brain gone wrong. Mereka tidak bisa membedakan akibat perbuatannya pada orang lain. Emosi pribadi yang dirasakan akan jauh lebih menguasai,” kata Elly.
 
Emosi tersebut harus dipuaskan dengan berbagai cara yang didapat lewat video kekerasan.
 
Rusaknya cortex bisa dicegah dengan menyesuaikan pola asuh dengan cara kerja otak. Bila otak lebih menyukai rasa senang, gembira, dan nyaman, maka emosi itulah yang harus timbul saat pengasuhan. Bila emosi yang timbul sebaliknya, maka otak tidak bisa berkembang dengan sempurna.
 
Karena itu, orangtua harus menghindari kata-kata kasar, sindiran, bentakan, atau perbandingan negatif selama pengasuhan. Dengan menghindari kata-kata tersebut, anak tidak perlu melakukan hal negatif untuk menetralkan perasaan buruk yang timbul. Dengan meminimalkan paparan negatif selama perkembangannya, maka peluang anak mempelajari berbagai karakter positif semakin besar.
 
Tentunya bukan hal sulit untuk mengasuh anak dengan cara yang benar. “Orangtua harus sadar anaknya tumbuh dalam berbagai ancaman. Selanjutnya orangtua harus memutus mata rantai pengasuhannya yang buruk di masa lalu. Bila orangua diasuh penuh kekerasan, bukan berarti anak harus mengalami hal yang sama,” ujar Elly.
 
Elly juga menyarankan orangtua mau belajar teknologi dan gadget terbaru. Dengan pengetahuan yang sama, maka orangtua bisa menjadi lawan bicara yang seimbang dengan anak. Hal ini sekaligus mencegah anak terkena paparan negatif dunia maya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau