Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/06/2014, 02:14 WIB

CHICAGO, KOMPAS.com — Tim dokter untuk pertama kalinya melaporkan keberhasilan penggunaan terapi kekebalan tubuh untuk mengatasi kanker serviks, penyakit yang dipicu virus HPV. Semua sel kanker di sebagian pasien dalam uji coba benar-benar hilang.

Dalam studi percontohan di US National Cancer Institute, tumor yang diderita dua dari sembilan perempuan benar-benar hilang, dan mereka tetap terbebas dari kanker itu sejak tahun lalu. Laporan ini disampaikan dalam sebuah konferensi di Chicago, Amerika Serikat, Senin (2/6/2014).

Salah satu wanita yang tumornya menghilang adalah Arrica Wallace (35), yang divonis mengidap kanker ini pada 2011. Kankernya sudah menyebar luas dengan satu tumor besar menghalangi separuh jalan napasnya.

Kemoterapi dan radiasi tak membantu Wallace. Dokter sudah memvonisnya tinggal punya waktu hidup tak lebih dari satu tahun. "Namun, aku tidak menyerah," kata Wallace, ibu dari dua anak berumur 8 dan 12 tahun.

Dokter yang menangani Wallace kemudian mendengar soal uji coba terapi kekebalan di Cancer Institute tersebut. "Sudah 22 bulan sejak pengobatan dan setelah 17 bulan scan benar-benar bersih, tak ada lagi tanda-tanda kanker," tutur Wallace.

Pendekatan eksperimental yang dijalani Wallace adalah salah satu metode dari imunoterapi kanker yang maju pesat. Terapi ini meningkatkan kemampuan alami tubuh untuk menghadapi kanker.

Para dokter melaporkan pula bahwa ada ada perbaikan hasil dari penggunaan terapi kekebalan ini untuk mengatasi leukemia dan kanker kulit melanoma yang menyebar ke kandung kemih, paru-paru, dan kanker lainnya.

Percobaan imunoterapi ini pertama kali diterapkan pada serangan kanker serviks dengan capaian dramatis. Capaian dari percobaan ini jauh lebih baik dari segala jenis pengobatan yang pernah ada untuk kanker ini.

Para dokter sekarang menjajal metode ini pada kanker tenggorokan, anal, dan kanker lain yang dipicu HPV alias human papillomavirus. Mereka berpendapat ada harapan yang sama bagusnya dari metode ini untuk mengatasi kanker lain yang dipicu virus berbeda.

"Ini sangat menarik," kata Dr Don Dizon dari Massachusetts General Hospital, dokter perempuan spesialis kanker yang tak terlibat dalam penelitian.

Wallace adalah warga Kansas. Begitu terdaftar dalam program uji coba itu, para petugas medis mengambil sebagian tumornya, mengisolasi satu sel kekebalan tubuh yang menyerang sel tumor dan melipatgandakannya di laboratorium.

Dalam jumlah miliaran, sel kekebalan tubuh dari laboratorium tersebut dimasukkan ke badan Wallace lewat satu kali infus. Para dokter juga memberi Wallace obat untuk memacu kekebalan tubuhnya. "Seperti Gatorade untuk sel," sebut Wallace.

Meski demikian, salah satu pemimpin penelitian ini, Dr Christian Hinrichs, dari lembaga kanker Bethesda yang berbasis di Maryland, mengatakan, sejauh ini tak ada cara untuk memastikan apakah hasil dari metode terapi tersebut akan permanen. Dia mengatakan, pasien kedua sudah bersih dari sel kanker dalam 15 bulan terakhir.

Selain itu, pasien ketiga sudah mendapatkan hasil berkurangnya sel kanker dalam tiga bulan terakhir. Adapun enam perempuan lain tak memperlihatkan respons atas metode terapi yang sama. Para dokter sedang menganalisis perbedaan respons ini.

Saat ini para dokter berencana mencoba metode peningkatan kekebalan tubuh ini pada lebih banyak perempuan dengan kanker serviks stadium lanjut. Mereka berharap suatu saat metode tersebut dapat ditawarkan ke pusat pengobatan kanker, yang sekarang harus menawarkan metode transplantasi sumsum tulang belakang dan stem cell.

Kalangan swasta juga terus berlomba menemukan obat dan terapi yang efektif mengatasi beragam kanker. Serangkaian penelitian dengan variasi dampak juga terus bermunculan.

Terapi kekebalan sudah digagas selama bertahun-tahun, tetapi capaiannya masih sangat kecil. "Namun, sekarang kita punya rudal jelajah, yang memiliki kemampuan lebih baik untuk membunuh sel kanker," kata Dr Steven O'Day dari University of Southern California.

Namun, beberapa kalangan menyambut penelitian ini dengan lebih hati-hati, dengan menyatakan banyak penelitian yang pada awalnya terlihat menjanjikan kemudian berubah menjadi capaian terbatas setelah ada penelitian lanjutan. "Ini tidak selalu bekerja dengan cara yang semula terlihat akan terjadi," kata Dr Len Lichtenfeld, Wakil Kepala Medis dari American Cancer Society.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau