Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/12/2014, 16:00 WIB

KOMPAS.com - Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dianugerahi kekayaan alam melimpah. Namun berkah sumber daya alam itu belum berimbas positif terhadap peningkatan akses layanan kesehatan bagi sebagian masyarakat di daerah pedalaman. Di Kabupaten Mimika, belum ada sarana puskesmas dan tenaga medis bagi belasan ribu warga.

Sebenarnya, di Distrik Tembagapura, Mimika, lokasi beroperasinya PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang multinasional, terdapat dua fasilitas kesehatan. Salah satunya adalah Rumah Sakit Tembagapura, yang memiliki fasilitas lengkap misalnya alat pemindaian tomografi terkomputasi (computerized tomography scan/CT scan).

Pihak RS itu memberi layanan gratis bagi karyawan Freeport Indonesia dan warga sekitar yang merupakan tujuh suku asli di wilayah itu, yakni Damal, Ekari, Amungme, Kamoro, Moni, Dani, dan Mee. Total kunjungan per hari 200 orang. Selain itu, terdapat RS Waa Banti, yang terletak di luar area operasi PT Freeport Indonesia.

Namun, untuk menjangkau fasilitas kesehatan itu, warga harus menempuh perjalanan beberapa jam. Kondina Kogoya (26), pasien yang ditemui Kompas, Sabtu (22/11), di ruang persalinan RS Tembagapura, mengaku harus berjalan dua jam ke daerah Waa Banti, baru diantar petugas dengan mobil ke RS.

”Di kampung saya, di Utikini, tak ada fasilitas kesehatan seperti puskesmas. Karena itu, saya harus pergi ke Waa Banti, lokasi terdekat yang memiliki rumah sakit,” tuturnya. Sementara, saudaranya yang ada di daerah Puncak dan Sugapa harus naik pesawat agar bisa mendapat perawatan di RS itu.

Sementara itu, Okto Beanal (35), warga Kampung Tsinga, menuturkan, untuk mendapat layanan persalinan di RS Waa Banti, istrinya, Damor Jawame, harus dibawa dengan helikopter. ”Untung helikopter bisa cepat sampai di kampung saya. Jika terlambat, nyawa istri dan anak saya tak tertolong,” kata pria yang juga Kepala Kampung Tsinga, Distrik Tembagapura.

Menurut Okto, kondisi fasilitas dan tenaga kesehatan di wilayahnya amat minim. Hanya ada satu puskesmas di Tsinga untuk melayani warga yang tersebar di enam kampung. Jarak antarkampung ke Tsinga jika ditempuh dengan berjalan kaki memakan waktu berjam-jam.

”Para petugas mantri atau bidan jarang ada di kampung. Mereka hanya bertugas di kampung hingga masa kontrak berakhir,” tuturnya. Kondisi itu membuat banyak warga kehilangan nyawa karena sakit.

Yustinus Wamang (36), warga di Kampung Noya yang dekat dengan Tsinga, mengungkapkan, istri dan anaknya meninggal dunia karena terlambat mendapat perawatan medis beberapa tahun lalu. Di kampungnya, banyak warga menderita tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, dan diare. Hal itu karena perilaku hidup masyarakat kurang sehat misalnya tak ada ada jamban untuk buang air besar.

Kepala RS Tembagapura Darma Irawan menyatakan, pihaknya menyediakan layanan kesehatan bagi karyawan Freeport Indonesia dan warga di tiga desa, yaitu Waa Banti, Arwanop, dan Tsinga. ”Tiga desa itu adalah binaan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro. Mereka menyediakan fasilitas seperti helikopter, tim kami terjun ke lokasi,” katanya.

Camat Tembagapura Slamet Sutejo mengakui, hanya ada dua puskesmas di wilayahnya, yakni Tsinga dan Arwanop. ”Masyarakat di luar dua wilayah itu harus berjalan minimal lima jam ke puskesmas. Karena itu, warga sering mengeluh ke mana tempat mereka harus mendapat pengobatan,” ujarnya.

Wakil Presiden Pengembangan Komunitas PT Freeport Indonesia Claus Wamafma menyatakan, pihaknya siap memberi bantuan logistik dan transportasi untuk memberi layanan kesehatan bagi masyarakat pedesaan di Mimika dan kabupaten lain. ”Kami kesulitan mencari tenaga yang mau bermukim di pedalaman berbulan-bulan,” katanya.

ARSIP KOMPAS TV Mencoba noken, tas khas Papua.

Puluhan desa

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, Ibrahim Iba, menjelaskan, ada 41 desa di daerah pegunungan belum memiliki sarana kesehatan seperti puskesmas pembantu. Puluhan desa itu ada di lima distrik, yakni Tembagapura, Agimuga, Jila, Hoya, dan Alama. Akibatnya, sekitar 12.000 warga sulit mengakses layanan kesehatan.

Kondisi itu terjadi karena cuaca dan kondisi geografis sulit. ”Semua desa hanya bisa ditempuh dengan transportasi udara. Biaya sewa pesawat Rp 80 juta sekali perjalanan,” ujarnya.

Mayoritas warga di 41 desa itu menderita ISPA. Hal ini diperkuat data Dinas Kesehatan Provinsi Papua hingga November 2014, yang mencatat jumlah penderita ISPA di daerah pegunungan 4.403 kasus dengan tingkat prevalensi 0,94 berbanding 1.000 penduduk. Itu dipicu kebiasaan warga menghangatkan diri dengan tungku api dalam honai yang tertutup rapat.

Kepala Dinas Kesehatan Papua Aloysius Giay mengakui, meski kebijakan otonomi khusus di Papua telah berjalan 13 tahun, masih ada daerah belum tersentuh pembangunan. Karena itu, Gubernur Papua Lukas Enembe mengalokasikan 15 persen dari Rp 80 miliar dana otonomi khusus bagi tiap kabupaten untuk sektor kesehatan.

Tim dari Unit Percepatan dan Pembangunan Kesehatan Papua akan meninjau kondisi kampung yang tak tersentuh layanan kesehatan. UP2KP akan mengawasi penggunaan anggaran kesehatan agar tepat sasaran.

Pihaknya juga menyiapkan program layanan kesehatan melalui jalur udara, laut, dan berjalan kaki ke semua wilayah pedalaman awal 2015. Di tiap kampung, akan ditempatkan delapan tenaga kesehatan yakni dokter, perawat, ahli kesehatan lingkungan, dan gizi, dengan sistem rotasi tiga bulan. Itu untuk mengatasi kendala geografis layanan kesehatan di Papua. (FABIO M LOPES COSTA)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau