Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/04/2015, 13:15 WIB


Waspadai gejala

Maya (42), penduduk Jakarta Selatan, paham betul apa saja tanda atau gejala DBD karena pengalaman ketika anak sulungnya terkena DBD. Anak itu baru duduk di kelas III sekolah dasar saat menderita demam tinggi dan tidak mempan diobati dengan penurun panas biasa. Hal itu disertai keluhan kepala terasa berat dan sering kali merasa mual. Maya bergegas membawa anaknya ke dokter. Ia bersyukur anaknya segera tertolong dan ditangani di rumah sakit.

"Setelah itu, saya sih tidak terlalu khawatir, ya, soalnya sudah tahu gejalanya seperti apa," ujar Maya. Tindakan yang dilakukan Maya dengan membawa anaknya sesegera mungkin ke rumah sakit sudah tepat karena hingga kini belum ada obat dan vaksin untuk mencegah DBD. Penanganan penderita DBD hingga kini hanya bersifat simtomatis dan suportif.

Endemi DBD di Indonesia memang patut terus diwaspadai karena jumlah kasus yang terjadi termasuk tinggi di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, dalam kurun 2004-2010, kasus DBD di Indonesia menempati urutan tertinggi kedua di antara 30 negara di dunia. Jumlah kasusnya 129.435 kasus. Urutan pertama adalah Brasil dan urutan ketiga adalah Vietnam.

Kecenderungan kasus DBD juga menunjukkan peningkatan dalam lima tahun terakhir. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan, pada 2015 diperkirakan muncul siklus KLB lima tahunan.

Angka kejadian DBD per 100.000 orang di Indonesia, atau sering disebut dengan incidence rate, paling tinggi terjadi di Bali.

Kenyataan tersebut tak melunturkan keyakinan publik bahwa penyakit DBD sangat mungkin dikurangi di Indonesia. Tujuh dari sepuluh responden meyakini bahwa perlahan kasus DBD bisa lenyap dari Indonesia.

Keyakinan tersebut tidak berlebihan sebab telah ada contohnya di dunia. Kuba, sebuah negara kepulauan di Karibia, contohnya, merupakan negara yang berhasil memberantas DBD dengan menggunakan biolarvasida, yakni pestisida yang terbuat dari tanaman. Sejak tahun 1980, Kuba telah menggunakan Bacillus thuringiensis var israelensis H-14 serotype (BTI) untuk membasmi DBD.

Prof Samsuridjal Djauzi, Guru Besar Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, yang aktif di dunia kesehatan masyarakat, optimistis, jika Kuba mampu mengembangkan bioteknologi, Indonesia juga mampu melakukan hal yang sama. Kuncinya tentu saja ada di sinergi di semua bidang terkait untuk memberantas DBD dari bumi Indonesia. (Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau