"Selama lebih dari satu abad, apendektomi atau pengangkatan usus buntu sudah menjadi terapi standar penyakit ini," kata Dr.Paulina Salminen dari Turku University Hopital di Finlandia.
Meski begitu, menurut Salminen, sekitar 80 persen pasien radang usus buntu tidak memerlukan operasi pengangkatan usus buntu, sementara itu pasien yang perlu dioperasi tidak apa-apa jika operasinya ditunda.
"Kini kita tahu bahwa hanya sedikit jumlah pasien usus buntu yang butuh operasi segera," katanya.
Ada dua jenis radang usus buntu, pertama adalah yang butuh operasi dan kedua penyakit usus buntu yang lebih ringan dan bisa diobati dengan antibiotik. "Mayoritas penyakit usus buntu adalah jenis yang ringan, hampir 80 persennya," ujarnya.
Radang usus buntu yang lebih serius bisa menyebabkan usus buntu pecah. Pengobatannya adalah pengangkatan usus buntu.
Untuk memastikan jenis usus buntu yang diderita, bisa dilakukan pemeriksaan CT scan karena hasilnya lebih akurat.
Penelitian yang dilakukan Salminen ini dilakukan dengan melibatkan 530 pasien radang usus buntu akut. Secara acak pasien itu diberikan terapi operasi usus buntu dan penanganan antibiotik selama 10 hari.
Hasilnya diketahui bahwa operasi usus buntu sukses pada 99,6 persen pasien. Sementara itu, pada pasien yang diberi antibiotik dan diikuti kesehatannya selama setahun, 73 persen tidak butuh operasi. Tapi sekitar 27 persen yang diobati antibiotik tetap perlu dioperasi setahun kemudian.
Walau demikian, tidak ada komplikasi berarti yang dialami oleh pasien yang menunda operasinya. Penelitian ini dipublikasikan dalam Journal of American Medical Association (JAMA).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.