Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/09/2015, 16:00 WIB
Konon gerakan meminta dukungan orang lain untuk membantu seseorang berhenti merokok ini dimulai oleh sejumlah anak di negara Barat. Mereka berhasil meraih simpati. Kemudian akhir-akhir ini ada ayah-ayah perokok melakukan hal yang sama.

Memasang foto anaknya untuk meraih dukungan sebanyak 1000 like di media sosial Facebook. Para pembaca terharu melihat perjuangan anaknya. Beribu 'like' diberikan. Apakah ayahnya berhenti merokok setelah itu? Tidak semua postingan semacam itu memberikan hasilnya.

Awalnya saya tidak begitu memperhatikan fenomena minta bantuan like ini, tapi ketika ada beberapa kali muncul, saya pun tergerak untuk mengamati sekaligus berpendapat. Pertanyaan saya hanya satu: Kalau ada perokok, ingin berhenti, maka siapa yang bertanggungjawab menghentikannya? Tepat sekali. Jawabannya pada diri sendiri. Bukan orang lain.

Keputusan untuk menjadi perokok itu sepenuhnya keputusan diri sendiri. Memang ada yang berkilah kalau diajak teman, sungkan kalau tidak mengikuti ajakan teman, kuatir disingkirkan dalam pertemanan, ya bolehlah sejumlah alasan diberikan. Tapi tetap saja keputusan untuk mengambil rokok, menyalakan, menghisap dan mengulangi lagi adalah keputusan pribadi.

Keputusan pribadi itu harus disertai dengan kesediaan menanggung konsekuensi. Salah satunya kesehatan diri sendiri, kesehatan orang lain dan juga kesulitan ekonomi.

Kalau sudah muncul kesadaran bahwa konsekuensi itu lebih baik dihindari karena merugikan, maka muncul keinginan untuk berhenti merokok. Tetapi kalau belum timbul kesadaran bahwa merokok itu tidak hanya merusak kesehatan diri sendiri tapi juga keluarganya, maka perilaku merokok itu akan jalan terus.

Keharusan memikul tanggungjawab atas perilaku sendiri itu memang berat. Paling mudah adalah melemparkan tanggungjawab pada orang lain, sehingga ia bebas dari rasa bersalah ketika ia tidak mampu menghentikan perilakunya. "Kan aku sudah usaha.. Tapi gimana lagi, enggak ada yang mau bantuin". Sekilas tampak enak, sederhana dan sesat!

Banyak perilaku menyimpang, atau gangguan perilaku, bermula dari ketidakmauan bertanggungjawab pada diri sendiri. Individu ogah bertanggungjawab dan menanggung konsekuensi dari perbuatannya. Merekalah penderita neurosis.

Memang paling mudah menyalahkan orang lain. Misalnya, karyawan perusahaan yang lama tidak mendapatkan promosi, sementara anak buahnya sudah melesat kariernya. Dia marah dan kecewa. Sibuk menyalahkan atasan, anak buah, keluarga atas nasibnya itu. Padahal dia yang memiliki hak sepenuhnya untuk berubah.

Contoh lain: Kasus bunuh diri seorang bapak yang sudah berkeluarga. Pada surat terakhirnya, ia berkata kalau dia sudah tidak sanggup hidup lagi karena kesulitan ekonomi. Ini cara berpikir menyimpang. Kalau dia dan istrinya saja tidak sanggup, apalagi istrinya sendirian.
Ketakutan untuk memikul tanggungjawab sebagai kepala keluarga membuat bapak itu memilih 'pergi' dari dunia ini.

Masih banyak contoh lain tentang bagaimana orang tidak mau bertanggungjawab pada perilakunya. Kembali pada kasus di atas. Bagi saya, fenomena menggunakan anak untuk minta dukungan orang lain dalam bentuk 'like' sebanyak 1000 adalah konyol. Ayah yang melakukan hal ini adalah ayah yang tidak bertanggungjawab. Ia melimpahkan tanggungjawab pada anak dan orang lain. Kalau tidak ada yang memberikan 'like' pada posting tersebut, apa yang terjadi?

"Ayah enggak jadi berhenti merokok," kata ayah santai pada anaknya.

"Tapi ayah sudah janji mau berhenti kalau aku bantu ayah.." si anak merengek. Menagih janji sang ayah.

"Ya, tapi itu kan kalau kamu dapat 1000 like. Sekarang ini sudah berapa like kamu dapatkan? Cuman 50 kan? Artinya ayah masih boleh merokok.. " jawab ayah kalem.

Kemungkinan dialog semacam itu yang akan terjadi. Anda lihat, siapa yang harusnya bertanggungjawab? Jadi menurut saya, cara berhenti merokok-dengan-syarat-1000-like itu sama sekali tidak benar. Niat palsu.

Ayah yang menggunakan anaknya itu tidak sungguh-sungguh ingin berhenti. Kalau dia mau berhenti, maka dia akan proaktif. Ia akan mengunjungi terapis, berkonsultasi dengan dokter, berkomitmen mengurangi jumlah rokok per harinya, dan bisa juga minta bantuan keluarga/teman untuk menegurnya bila ia sudah melewati batas jumlah rokok yang ia tentukan.

Shutterstock Ilustrasi
Ditiru anak

Sisi lain dari fenomena tersebut adalah anak belajar untuk tidak bertanggungjawab pada perilakunya. Ia melihat kalau dia mau berhenti dari suatu perilaku, maka hal itu bisa dilakukan dengan syarat. Kalau dia ingin berhenti mengompol, maka ia akan bilang ke ibunya : "Kalau Ibu bisa dapat 1000 like, aku berhenti ngompol." Nah!

Anak belajar untuk melakukan sesuatu dengan syarat, padahal kita mengajarkan anak-anak untuk bisa mencintai tanpa syarat. Dalam hal ini, anak 'dipaksa' untuk memiliki paradigma :

- Kita tidak bisa menghentikan perilaku kita yang salah, karena keputusan untuk berhenti itu tergantung pada orang lain

- Kalau tidak ada orang yang mau membantu kita untuk berubah, maka sebaiknya kita tidak berubah.

Apa memang paradigma seperti itu yang kita inginkan tumbuh dalam diri anak-anak kita?

Naftalia Kusumawardhani, Versi lengkap artikel ini bisa dibaca di M

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau