“Baru pada 2014 saya menemukan rumus dan desain instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang tepat,” kata Abie.
Sistem IPAL besutan Abie adalah tangki septik memakai teknologi ramah lingkungan biofilter. Teknologi ini menjernihkan air limbah yang keluar dari tangki limbah sehingga tak lagi mencemari lingkungan.
“Di dalamnya ada penyaring ‘sarang tawon’. Airnya jadi bening sehingga sudah aman ketika dibuang ke lingkungan,” tutur Abie. IPAL rancangan Abie dengan teknologi ini kemudian dipakai di rumah sakit, puskesmas, maupun permukiman.
“Sedangkan untuk tangki septik sederhana, saya pakai rumus Wiro Sableng, 212,” ungkap Abie dengan menyisipkan gurauan. Wiro Sableng adalah tokoh fiktif dalam novel serial silat lokal karya Bastian Tito yang melejit pada era 1990-an.
"Kode" 212 yang melekat di nama sosok ini berasal dari senjata Wiro—kapak maut naga geni 212—dan tato di dadanya. Adapun dalam rumus Abie, angka "212" itu merujuk pada ukuran tangki septik, yaitu 2 meter x 1 meter x 2 meter.
Rumus tersebut sudah memperhitungkan kecenderungan sempitnya lahan di permukiman warga. Ke tangki dengan dimensi ini, limbah cair rumah tangga yang berasal dari kamar mandi, dapur, dan cucian pakaian dapat mengalir.
“Biayanya juga tidak mahal. Bahan material yang dibutuhkan mudah dan murah. Kami biasa memakai botol bekas minuman air mineral, dan tempurung kelapa,” sebut Abie.
Kini, Penjaringan dan Semper Barat, dua wilayah di Jakarta telah menggunakan sistem biofilter komunal karya Abie. Hasil pengolahannya telah teruji di laboratorium dan memenuhi standar baku mutu untuk air yang siap dibuang ke sungai.“Air jenis ini layak untuk kebutuhan toilet (flushing) dan menyiram tanaman,” imbuh Abie. Dia pun mempersilakan siapa saja mendatangi dua wilayah yang sudah menerapkan sistem racikannya itu. “Buktikan sendiri ke sana, tidak ada lagi air limbah yang berwarna,” tegas dia.
Akses universal
Hingga saat ini, sarana sanitasi dasar dan air minum layak masih menjadi awan kelabu bagi lingkungan di Indonesia bahkan dunia. Pentingnya masalah ini menjadikannya sebagai salah satu target Milennium Development Goals (MDGs) yang ditetapkan PBB pada 2000.
Sebagai anggota PBB, Indonesia turut mengupayakannya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia secara nasional telah mewujudkan air minum layak bagi 68,36 persen populasi dan akses sanitasi dasar kepada 61,04persen populasi pada 2014.
Demi mendorong universal access—istilah untuk akses air minum layak dan sanitasi dasar—bagi seluruh penduduk Indonesia, pemerintah memasukkan target MDGs itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Program tersebut menargetkan, paling tidak dalam 5 tahun ke depan ada peningkatan 40 persen di bidang sanitasi layak dan 30 persen akses air minum aman. Tentu, pemenuhan target itu tak semudah membalik telapak tangan.
Tak hanya Abie yang sebegitu gelisah soal urusan tinja dan penanganan air limbah. Dari Wonosobo, Jawa Tengah, ada pula cerita Dani Ardiansyah yang melihat masih saja ada warga yang menjadikan parit, selokan, dan sungai sebagai tempat membuang tinja.
Ketiadaan jamban menjadi alasan warga, selain masalah kebiasaan. Membangun kesadaran masyarakat menjadi tantangan Dani. Dia harus memikirkan pula terobosan solusi yang tak sekadar jalan pintas sesaat.