Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/02/2016, 09:03 WIB
Lily Turangan

Penulis

Pengalaman dari James Fallon mungkin bisa jadi contoh. Fallon adalah profesor neurosains dari University of California yang juga banyak berurusan dengan psikopat.

Satu hari, Fallon bertanya pada seorang psikopat, apakah dia menyesal telah menikam seorang perampok. Jawaban si Psikopat, "Yang benar saja! Dia (si perampok) sengsara berbulan-bulan di rumah sakit dan aku membusuk di penjara. Aku tidak membunuhnya. Aku mencoba membebaskannya dari sengsara. Kalau aku membunuh, akan kulakukan dengan cara mengiris tenggorokannya (bukan dengan menikam). Seperti itulah aku. Aku mencoba membebaskannya."

Jika Anda menepukkan tangan di belakang telinga seseorang, orang itu akan kaget. Mungkin, bahkan saking kagetnya, tangannya akan berkeringat. Hal ini tidak akan terjadi pada seorang psikopat. Reaksi yang Anda terima akan datar.

Seorang psikopat, sangat jarang mengalami tangan berkeringat karena stres, takut, atau grogi. Sekarang bayangkan, jika Anda tidak pernah takut, marah atau sedih - bagaimana Anda bisa berempati pada kemarahan, ketakutan dan kesedihan orang lain?

Empati adalah bagian dari perkembangan moral yang normal. Waktu kita kecil, kita diajarkan untuk tidak menyakiti makhluk hidup. Itu menumbuhkan rasa empati dalam diri kita.

Ketika kita menyakiti seseorang atau sesuatu, rasa sakit orang atau sesuatu itu akan membuat kita menyesal. Mengapa kita harus menyakitinya? Sebaliknya, menjadi seorang penolong, akan membuat kita bahagia. Empati ini mungkin tidak akan Anda lihat pada seorang psikopat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com