Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/05/2016, 11:10 WIB

Berita tentang kebiri kimia meledak lagi di media massa setelah terjadi pemerkosaan dan kematian yang menimpa Yy di Bengkulu. Masyarakat marah dan resah dengan kematian gadis 14 tahun itu, setelah diperkosa oleh 14 pemuda berusia 16-23 tahun.

Apalagi, 10 di antara 14 pelaku hanya dituntut 10 tahun penjara. Serendah itukah menghargai nyawa seorang gadis akibat kejahatan seksual? Maka, keinginan untuk segera menetapkan hukuman kebiri kimia menjadi semakin kuat.

Pertanyaan yang muncul, apakah dengan menerapkan hukuman kebiri kimia pelaku menjadi jera dan kejahatan seksual tidak ada lagi? Mengapa hukuman yang ada tidak diperberat, misalnya menjadi seumur hidup di sebuah pulau terpencil, apalagi dikelilingi buaya? Apakah kebiri kimia memang lebih efektif membuat efek jera dan menekan kejahatan seksual di masyarakat?

Belum ada data yang dapat dijadikan dasar, jenis hukuman mana yang lebih berefek jera dan meniadakan kejahatan seksual. Lebih sulit lagi kalau mempersoalkan apa dan bagaimana detail hukuman kebiri kimia.

Sejak awal wacana kebiri kimia digaungkan, bermunculan berbagai informasi yang menunjukkan ketidakmengertian masyarakat, termasuk yang menyampaikan informasi. Ada kebingungan dengan istilah kebiri, kebiri kimia, ada pula istilah pemotongan saraf libido.

Narasumber yang dimunculkan di media massa ternyata tidak semua berkompeten sehingga informasinya kurang tepat. Oleh karena itu, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) pernah menyampaikan surat penjelasan kepada para menteri terkait dengan rencana hukuman kebiri kimia.

Kebiri kimia

Istilah kebiri kimia berasal dari kata obat yang bersifat anti hormon testosteron, pelaku diharapkan kehilangan dorongan seksualnya. Dengan demikian, si pelaku menjadi tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual.

Namun, tidak mungkin hanya dengan sekali pemberian obat lalu dorongan seksual langsung hilang dan tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kalau hormon testosteronnya ditekan sehingga menjadi rendah, akibatnya memang terjadi penurunan dorongan seksual. Selanjutnya diharapkan pelaku menjadi tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual.

Namun, perlu diingat, dorongan seksual tidak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron, tetapi juga oleh pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan secara umum, dan faktor psikologis terkait fungsi seksual. Berarti, walaupun mendapat obat anti testosteron, belum tentu keinginan melakukan hubungan seksual lenyap sama sekali, terlepas dari mampu atau tidak melakukannya.

Pengalaman seksual sebelumnya, apalagi selama bertahun-tahun, pada umumnya tetap melekat di pusat seks yang ada di otak. Pengalaman ini akan muncul dalam kondisi tertentu, dan membuat orang melakukan upaya agar dapat melakukan hubungan seksual lagi. Bahwa apakah upayanya berhasil atau tidak, tentu bergantung pada apa upaya yang dilakukan.

Selain itu, penurunan hormon testosteron juga akan mengganggu fungsi organ tubuh yang lain, seperti otot yang mengecil, tulang yang keropos, sel darah merah berkurang, dan fungsi kognitif terganggu. Apakah pengaruh lain ini dibiarkan begitu saja, padahal tujuan awal hukuman kebiri kimia bukan untuk mengganggu fungsi organ lain?

Beberapa kemungkinan di atas tampaknya perlu kita pikirkan sebelum melaksanakan hukum kebiri bagi para penjahat seksual. Akan tetapi, yang pasti, semua orang di negara ini sepakat agar penjahat seksual dihukum seberat mungkin. Sama halnya dengan keinginan semua orang agar penjahat korupsi juga dihukum seberat mungkin.

Beberapa masalah

Katakanlah kita sepakat dengan hukuman kebiri kimia, tetapi tampaknya tidak sederhana dalam penerapannya. Beberapa masalah berikut perlu dipikirkan dengan baik. Apakah dokter yang melakukan tidak dianggap melanggar etika kedokteran, bahkan malapraktik?

Mengapa? Karena dalam kondisi kadar testosteron normal dan tidak ada indikasi, dokter tidak dibenarkan memberikan anti testosteron. Sebab, hal itu berarti sama saja dengan dokter dilarang memberikan pengobatan atau tindakan tertentu tanpa indikasi yang pasti.

Kalau dokter harus tunduk melaksanakan peraturan atau undang-undang, ya, apa boleh buat. Namun, bagaimana dengan akibat yang mungkin terjadi pada organ lain seperti di atas? Apakah dokter tidak dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) karena merusak fungsi organ tubuh lain?

Padahal, sekali lagi, tujuan utama penerapan hukum ini agar pelaku tidak mau dan tidak mampu lagi melakukan kejahatan seksual.

Hal lain yang perlu kita pikirkan adalah setelah pelaku bebas dari hukuman: mungkinkah dia mendapatkan kembali dorongan seksual dan kemampuan melakukan hubungan seksual? Mungkin saja, dengan cara mendapatkan kembali pengobatan testosteron.

Selain itu, mungkinkah pelaku kemudian mampu melakukan kejahatan seksual lagi kalau dorongan seksualnya hilang atau kurang? Dan, andai kata pelaku tetap kehilangan dorongan seksualnya, tetapi mau melakukan hubungan seksual, mungkinkah?

Dengan pengobatan tertentu, mungkin saja kemampuan seksual didapat walaupun tanpa dorongan seksual. Artinya, ia tetap mampu melakukan kejahatan seksual walaupun tanpa atau hanya sedikit merasakan dorongan seksual.

Semoga uraian singkat ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua dalam mewujudkan keinginan menerapkan hukuman kebiri kimia.

Wimpie Pangkahila, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; Ketua Umum Persandi

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com