Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/05/2016, 21:00 WIB

KOMPAS.com — Dalam beberapa minggu terakhir, pemberitaan media massa dipenuhi kabar mengenai kejahatan seksual terhadap anak-anak. Yang mengerikan, peristiwa itu juga menyebabkan korbannya meninggal dunia.

Pemerintah telah menetapkan hukuman terberat bagi para pelaku, yakni berupa pidana mati ditambah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimiawi, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Selama ini, pelaku kejahatan seksual dinilai tidak pernah mendapat hukuman yang berat.

Presiden Joko Widodo mengatakan, terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang baru ditandatangani karena kejahatan seksual sudah mengganggu rasa kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat.

Meski demikian, mengebiri menimbulkan perdebatan karena sebenarnya belum terbukti apakah hukuman yang pertama kali dipakai pada tahun 1940-an ini mampu membuat para pemangsa kejahatan seksual itu jera.

Di beberapa negara yang juga menerapkan suntik kebiri pun belum bisa disimpulkan apakah cara ini efektif menekan kejahatan seksual.

Frances Crook, ahli kriminologi dari Inggris, mengatakan bahwa pelaku kejahatan seksual tidak hanya didorong oleh hasrat seksual, tetapi juga kekerasan dan dominasi.

"Pemberian obat tidak berpengaruh terhadap perilaku itu. Sebagian pria mungkin akan melakukan bentuk perilaku kejahatan berbeda pada korban jika ia tidak bisa melakukan tindakan seksual karena obat kebiri," katanya seperti dikutip The Guardian.

Menurut Prof Wimpie Pangkahila, dokter spesialis andrologi, pemberian obat satu kali tidak akan langsung membuat dorongan seksual hilang dan pelaku tidak mampu melakukan hubungan seksual.

Jika hormon testosteron ditekan sehingga menjadi rendah, akibatnya memang terjadi penurunan dorongan seksual. Selanjutnya diharapkan pelaku menjadi tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual.

"Namun, perlu diingat, dorongan seksual tidak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron, tetapi juga oleh pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan secara umum, dan faktor psikologis terkait fungsi seksual. Berarti, walaupun mendapat obat anti-testosteron, belum tentu keinginan melakukan hubungan seksual lenyap sama sekali, terlepas dari mampu atau tidak melakukannya," katanya seperti dikutip dari harian Kompas (13/5/2016).

Pengalaman seksual sebelumnya, apalagi selama bertahun-tahun, pada umumnya tetap melekat di pusat seks yang ada di otak. Menurut Wimpie, pengalaman ini akan muncul dalam kondisi tertentu dan membuat orang melakukan upaya agar dapat melakukan hubungan seksual lagi.

Kebiri kimiawi bisa dipakai sebagai terapi bagi seseorang yang tidak bisa mengendalikan dorongan seksualnya. Hal ini memang terbukti efektif pada pria yang mengalami kecanduan seks dan ia secara sukarela dikebiri karena ingin menyelamatkan perkawinannya.

Di beberapa negara, suntik kebiri bersifat sukarela dari para narapidana dengan pendampingan dari para tenaga medis.

Heather Barr, peneliti senior dalam hak perempuan dari Human Rights Watch, mengatakan bahwa kebiri kimiawi berisiko memberikan solusi yang palsu bagi masalah yang kompleks dan sulit seperti halnya kejahatan seksual.

"Melindungi anak dari kekerasan seksual diperlukan sejumlah respons yang kompleks dan kebiri kimiawi tidak termasuk di dalamnya," katanya seperti dikutip situs www.nytimes.com.

Menurut dia, upaya perlindungan anak akan berhasil jika ada sistem pelayanan sosial yang efektif, upaya dari sekolah untuk melindungi anak dan mengenali pelaku, terapi bagi orang yang berisiko melakukan kekerasan, dan peraturan yang fokus pada pencegahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com