KOMPAS.com - Hampir tiga juta pasangan menikah di Inggris berada dalam hubungan penuh tekanan, sering bertengkar, hingga mempertimbangkan perceraian. Tekanan menjadi orangtua baru dan tekanan finansial telah membuat 1,4 juta keluarga berada dalam masa kritis karena di ambang perceraian, studi memperingatkan.
Para ahli melaporkan temuan ini dalam Relationship Distress Monitor. Peneliti juga memperingati semua pasangan, bahwa pertengkaran yang berlangsung secara konstan akibat tekanan-tekanan tadi dapat berdampak buruk bagi anak-anak.
Anak-anak yang hidup dalam keluarga yang penuh tekanan cenderung mendapatkan hasil akademik yang buruk di sekolah dan lebih mungkin untuk jatuh dalam perilaku antisosial dan kejahatan.
Dr David Marjoribanks yang terlibat dalam penelitian mengatakan, "Ini bukan hanya kondisi hubungan itu sendiri, namun juga konflik yang mengelilingi itu. Ini berarti, bahwa ketika terjadi pertengkaran konstan atau perceraian, kondisi itu tak hanya menyakiti anak-anak, namun lebih dari itu.”
Buruknya lagi, anak-anak yang tumbuh dengan orangtua yang saling bertentangan atau bertengkar, jauh lebih mungkin untuk memiliki masalah kesehatan mental dan fisik, tidak melakukan hal baik di sekolah, bahkan berakhir dengan perilaku antisosial dan kriminalitas.
Untuk melihat kondisi hubungan pernikahan di Inggris, para peneliti menganalisis data dari sebuah studi rumah tangga UK Understanding Society.
Mereka menemukan, sebelum tahun 2011, terjadi lebih sedikit hubungan yang penuh tekanan. Dan momen menjadi orangtua untuk pertama kalinya, menjadi salah satu peristiwa kehidupan yang paling mungkin mengurangi kualitas hubungan.
Dr Marjoribanks mengatakan, “Ada pola yang menyebabkan semakin banyaknya hubungan yang renggang. Saat ini ketegangan ekonomi semakin meningkat, misalnya masalah pasangan yang berpenghasilan rendah, pengangguran, membangun fasilitas keluarga dari utang, yang akhirnya membuat ketegangan pada hubungan meningkat.”
Menurut survei dari 20.980 orang, 1 dari 10 pasangan menikah melaporkan setidaknya sesekali menyesali menikah atau hidup bersama, sementara 9% mengatakan mereka setidaknya pernah berpikir tentang perceraian atau perpisahan.
Dr Marjoribanks mengatakan, banyak pasangan menderita dalam diam selama bertahun-tahun dan hanya mencari bantuan ketika sudah terlalu terlambat untuk menyelamatkan hubungan mereka.
Ia menyarankan, para pasangan untuk segera melakukan konseling saat hubungan sudah sering dipenuhi dengan perdebatan dan stres sedini mungkin. Dengan demikian, pasangan diharapkan masih memiliki waktu untuk bersama-sama memikirkan solusi di luar perpisahan, terlebih bagi kebaikan anak-anak.