KOMPAS.com - Gastroesophageal Reflux disease (GERD) atau asam lambung adalah penyakit yang cukup serius dan tidak bisa kita sepelekan. Penyakit ini terjadi ketika asam lambung kembali naik hingga kerongkongan.
Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), GERD dapat menyebabkan komplikasi serius jika tidak segera ditangani.
Penyakit ini bisa dialami siapa saja, baik pria atau wanita. Namun, faktor-faktor berikut bisa membuat seseorang berisiko tinggi mengalami GERD:
Penyakit ini menyebabkan munculnya sensasi tidak nyaman di dada yang menyebar ke arah leher.
Saat mengalami kondisi ini, mulut biasanya terasa asam atu pahit. Kondisi ini juga membuat kita merasa mual dan muntah.
Dalam beberapa kasus, GERD juga membuat penderitanya kesulitan menelan dan mengalami berbagai masalah pernapasan seperti batuk kronis dan asma.
Baca juga: GERD, dari Penyebab, Gejala hingga Penanganan
Penyebab utama penyakit GERD yaitu katup kerongkongan bagian bawah (sfringter) melemah, sehingga membuatnya terbuka pada kondisi tertentu.
Katup atau sfringter kerongkongan adalah otot di bagian bawah kerongkongan, sebagai pemisah antara bagian tersebut dengan lambung.
Sfringter kerongkongan seharusnya dalam posisi tertutup untuk mencegah asam yang ada di lambung agar tidak naik ke atas.
Katup di bagian bawah kerongkongan ini akan terbuka ketika makanan di mulut akan masuk ke dalam perut. Setelahnya, katup kerongkongan seharusnya tertutup kembali.
Pada penderita GERD, katup atau sfringter kerongkongan melemah, sehingga mudah terbuka meski sedang tidak ada makanan di mulut.
Hal ini menyebabkan asam pada lambung berbalik naik ke kerongkongan. Jika kondisi tersebut terjadi terus-menerus, lapisan kerongkongan akan mengalami iritasi hingga peradangan.
GERD bisa diatasi dengan perubahan pola makan dan gaya hidup. Namun, beberapa orang mungkin memerlukan obat atau operasi.
Obat-obatan yang biasa dikonsumsi penderit GERD antara lain antasida, H2 blocker reseptor, dan inhibitor pompa proton (PPI).
Dalam beberapa kasus, dokter biasanya meresepkan penghambat reseptor H2 atau PPI yang lebih kuat.
Baca juga: Jangan Salah Lagi, Tidak Ada Penyakit Bernama Maag