KOMPAS.com - Studi dari Monash University menunjukkan, dampak pernikahan dini pada remaja putri terbukti bisa meningkatkan risiko depresi.
Peneliti Danusha Jayawardana membuat studi kualitatif melibatkan 5.679 responden perempuan. Dari jumlah tersebut, terdapat 30 persen responden remaja putri berumur 18 tahun yang menjalani pernikahan dini.
Responden tersebut lantas dinilai status kesehatan mentalnya dengan menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10).
Baca juga: 6 Risiko Kesehatan Hamil di Usia Remaja
Hasilnya, remaja putri yang menikah dini (sebelum usia 19 tahun seperti yang disyaratkan UU Perkawinan terbaru) berisiko lebih tinggi mengalami depresi.
Risiko depresi tersebut baru menurun ketika perempuan menikah minimal di usia 19 tahun.
Untuk diketahui, batas minimal usia menikah di Indonesia sesuai dengan UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah 19 tahun.
Sayangnya, remaja putri bisa menikah tanpa batasan usia minimal dengan mengajukan dispensasi nikah atau mendapatkan persetujuan dari pengadilan agama atau pejabat setempat.
“Melalui temuan studi ini, kami harap pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini,” jelas Danusha, lewat siaran pers yang diterima Kompas.com (21/6/2023).
Baca juga: Haid Pertama pada Remaja Putri, Ini 3 Hal yang Harus Dilakukan
Danusha menyebutkan, dampak pernikahan dini pada remaja putri bisa menjadi sumber pengalaman traumatis dan penuh tekanan.
“Mereka jadi terpisah dari keluarga dan teman-temannya, dipaksa tingga bersama suami dan keluarganya, jadi meningkatkan risiko isolasi sosial,” kata dia.
Selain faktor isolasi secara sosial, konsekuensi pernikahan seperti melahirkan dan pengasuhan anak pada usia remaja juga dapat menambah tekanan fisik dan emosional.
Paparan tekanan emosional dan pengalaman traumatis tersebut secara terus-menerus dapat menyebabkan stres tinggi dan berdampak negatif pada kesehatan mental.
“Dampaknya bisa menyebabkan gangguan depresi, kecemasan, atau serangan panik,” terang dia.
Baca juga: 5 Efek Pernikahan Tidak Bahagia untuk Kesehatan Mental dan Fisik
Lebih lanjut Danusha Jayawardana memberikan gambaran besar bahwa pernikahan dini pada remaja putri sebenarnya bagian dari fenomena “missing women” akibat diskriminasi gender.
Di luar faktor kesehatan, dampak pernikahan dini pada remaja putri juga bisa menghilangkan kesempatan pendidikan, peluang karier, sampai keselamatan.
Ia juga menyoroti konsekuensi merugikan remaja putri yang menjalani pernikahan dini bisa mengalami gangguan jiwa, sehingga rentan melakukan perilaku berisiko seperti menyakiti diri sendiri.
“Karena perkawinan anak terkait dengan kesehatan mental yang buruk, hasil studi ini bisa memberikan penjelasan yang mungkin akan tingginya angka kematian perempuan di Indonesia,” kata peneliti.
Untuk melindungi remaja putri dari dampak buruk pernikahan dini, termasuk depresi dan masalah kesehatan lainnya, ia mendorong regulator menjalankan amanat UU perkawinan terbaru, dengan memberikan izin pernikahan untuk perempuan minimal saat usianya sudah 19 tahun.
Baca juga: Ini Alasan Usia Kehamilan Bisa Lebih Tua dari Usia Pernikahan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.