KOMPAS.com - Tahukah Anda bahwa lemak perut dapat menyababkan banyak penyakit berbahaya?
Mengutip Cleveland Clinic, lemak dalam tubuh kita terdiri dari lemak di bawah kulit (lemak subkutan) dan lemak perut (lemak visceral).
Jika lemak yang bersembunyi tepat di bawah kulit di sebagian besar tubuh yang bisa dicubit, itu termasuk lemak subkutan, bukan lemak perut.
Baca juga: Kenali Apa Itu Lemak Perut, Penyebab, dan Tanda-tandanya
Lemak visceral bersifat lebih berbahaya daripada subkutan, karena letaknya jauh di dalam yang dekat organ vital tubuh.
Lemak ini mengelilingi lambung, hati, usus, dan organ lainnya. Ini berada di belakang otot perut dan tidak terlihat.
“Anda bisa memiliki terlalu banyak lemak perut bahkan dengan BMI (indeks massa tubuh) normal,” kata spesialis pengobatan obesitas Jaime Harper, MD yang dikutip dari Live Strong.
Jadi Anda perlu memperhatikan lingkar pinggang Anda untuk mengukur lemak perut, bukan angka berat badan di timbangan.
Artikel ini selanjutnya akan mengulas secara ringkas tentang bahaya lemak perut dan contoh penyakit sebagai akibatnya.
Baca juga: 10 Kebiasaan yang Bisa Meningkatkan Lemak Perut
Dikutip dari laman Houston Methodist, Dr. Garth Davis, ahli bedah bariatrik di Houston Methodist mengatakan bahwa sel-sel lemak visceral aktif secara biologis.
Lemak ini mengeluarkan hormon dan bahan kimia lain yang terkait dengan penyakit yang menimpa orang lanjut usia.
Di antara bahan kimia yang dipengaruhi, terdapat sitokin yang meningkatkan kemungkinan penyakit jantung dan membuat tubuh kurang sensitif terhadap insulin, yang dapat menyebabkan diabetes.
Lemak tidak sehat ini juga menghasilkan prekursor angiotensin, protein yang menyebabkan pembuluh darah menyempit dan tekanan darah meningkat.
Oleh karena itu, lemak perut disebut sebagai prediktor terhadap perkembangan penyakit metabolik kronis.
Baca juga: 9 Macam Rempah yang Bermanfaat untuk Mengurangi Lemak Perut
Dikutip dari Live Strong, berikut macam penyakit akibat lemak perut:
Ada hubungan erat antara terlalu banyak lemak perut dan risiko diabetes tipe 2, menurut penelitian yang diterbitkan pada Februari 2017 di Journal of American Medical Association.