Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ana Indrayati
Dosen

Penulis memiliki ketertarikan menulis artikel ilmiah populer, beberapa artikel telah dimuat di Pikiran Rakyat Bandung dan Suara Merdeka (2023)

Toksin Bakteri Penyebab Sindrom Nasi Goreng

Kompas.com - 14/11/2023, 14:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SINDROM nasi goreng ramai kembali setelah ada beberapa kasus kematian yang diduga karena keracunan makanan.

Kasus kematian tersebut di antaranya adalah kematian seorang pemuda setelah makan sisa pasta yang telah dibiarkan selama lima hari di suhu ruang (tidak disimpan di lemari es).

Kasus kematian lainnya terjadi pada seorang pelajar berusia 20 tahun di Belgia yang mengonsumsi sisa spaghetti dengan saus tomat yang telah dimasak. Spaghetti tersebut telah dibiarkan selama lima hari di meja dapur.

Hasil uji menunjukkan bahwa kematian keduanya diduga disebabkan toksin yang diproduksi bakteri Bacillus cereus yang mengontaminasi makanan.

Sindrom nasi goreng

Sindrom nasi goreng adalah keracunan makanan yang disebabkan karena mengonsumi makanan yang telah terkontaminasi bakteri B. cereus.

Makanan yang telah diolah kemudian disimpan dalam waktu lama pada suhu ruang sehingga rentan terkontaminasi bakteri B. cereus. Bakteri tersebut menghasilkan toksin (atau racun) penyebab sindrom nasi goreng.

Sebagian besar jenis makanan/minuman rentan terkontaminasi bakteri B. cereus, namun jenis makanan yang paling umum adalah nasi, mie, pasta, dan kentang tumbuk.

B. cereus merupakan bakteri tanah, kelompok mesofilik, yaitu bakteri yang hidup pada suhu 4-48 derajat celcius dengan suhu optimum 28–35 derajat celcius.

B cereus terdiri atas dua grup berdasarkan suhu pertumbuhannya, yaitu B. cereus suhu rendah (4-37 derajat celcius) dan suhu tinggi (10-42 derajat celcius).

Ciri-ciri lain dari B. cereus adalah berbentuk batang, berukuran lebar 1,0-1,2 μm, panjang 3,0–5,0 μm, motil (bergerak) dengan tipe flagella peritrik, Gram positif, aerob atau anaerob fakultatif, tahan pada kadar garam 7,5% w/w, pH 4,5-9,5 dan nilai aw (water activity) 0,93.

Bakteri dapat diisolasi dari lingkungan (terutama dari tanah), makanan dan sampel klinik.

Bakteri membentuk endospora sehingga dapat hidup pada kondisi lingkungan yang tidak baik seperti kekurangan air dan makanan karena endospora tahan terhadap panas, kekeringan, asam dan tekanan fisik lainnya.

Bakteri menghasilkan beberapa faktor virulensi seperti fosfolipase, hemolisin dan toksin (racun). Toksin bakteri merupakan penyebab food borne illness, baik berupa food intoxication maupun food infection.

Food intoxication adalah penyakit yang terjadi karena mengonsumsi makanan yang mengandung toksin. Sedangkan food infection adalah penyakit yang terjadi karena mengonsumi makanan yang mengandung sel vegetatif atau endospora.

Selanjutnya bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan dan memproduksi toksin di dalam usus halus.

Toksin bakteri dilaporkan telah menyebabkan beberapa wabah di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika Serikat.

Makanan yang terkontaminasi bakteri dan menghasilkan toksin memiliki ciri-ciri berupa perubahan tekstur, rasa dan bau pada makanan.

Selain menyebabkan keracunan makanan, B. cereus juga menyebabkan penyakit lain seperti infeksi saluran pernapasan, infeksi nosokomial, endophthalmtis (peradangan berat pada bola mata), dan infeksi sistem saraf pusat.

Peradangan pada bola mata terjadi jika seseorang menyentuh makanan yang mengandung toksin bakteri, kemudian menyentuh mata (menggosok-gosok) mata tanpa membersihkan tangan terlebih dahulu.

Toksin B. cereus

Toksin bakteri terbagi menjadi dua, yaitu toksin emetik penyebab sindrom muntah dan enterotoksin penyebab sindrom diare

1. Toksin emetik

Sindrom emetik yang disebabkan oleh B. cereus mempunyai waktu inkubasi lebih pendek serta dampak lebih akut dibandingkan sindrom diare.

Gejala mual, muntah, dan kram perut muncul 1-6 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung toksin.

Penyebab utama sindrom emetik adalah toksin cereulide, merupakan peptida non-ribosom (NRP) yang dikode oleh gen synthetase of genes (ces) berukuran 24 kilobasa (kb).

NRP adalah metabolit sekunder yang tidak disintesis di ribosom oleh enzim sintetase peptida non-ribosom.

Cereulide dihasilkan oleh bakteri pada fase pertumbuhan stasioner dengan suhu sekitar 12-37°C, nilai aw >0,953, pH >5,6 dan pada kondisi aerobik (terdapat oksigen).

Bakteri memproduksi toksin jika jumlahnya mencapai 105–108 sel/g makanan.

Cereulide dihasilkan oleh bakteri yang berada pada beberapa makanan seperti nasi, mie, pasta, kentang tumbuk dll.

Cereulide diketahui juga diproduksi oleh B. cereus yang mencemari susu dan tahan terhadap proses pasteurisasi.

Cereulide merupakan molekul siklik dodecadepsipeptida dengan berat molekul 1,2 kilo Dalton (Kda). Urutan asam amino berulang [D-O-Leu D-Ala L-O-Val D-Val] membuat toksin tahan terhadap panas, asam serta enzim-enzim pencernaan seperti pepsin dan tripsin.

Toksin sulit dihilangkan melalui proses baktofugasi (proses sentrifugasi untuk menghilangkan toksin), filtrasi (penyaringan) dan pemanasan.

Cereulide terdiri atas beberapa isoform yang dikenal dengan isocereulide A-G. Masing-masing isoform berbeda tingkat sitotoksisitasnya.

Isocereulide-A merupakan isoform paling sitotoksik dengan derajat 10x lebih tinggi dibandingkan cereulide lainnya.

Isocereulide B bersifat non-sitotoksik. Mekanisme kerja dari toksin adalah cereulide yang ada pada makanan setelah dikonsumsi, maka toksin akan masuk ke dalam darah, melewati saluran usus dan diedarkan ke seluruh tubuh.

Toksin di dalam lambung dan usus halus akan berikatan dengan reseptor 5-HT3, menekan aktivitas mitokondria melalui jalur oksidasi asam lemak, selanjutnya mengaktivasi saraf-saraf aferen vagus yang menginduksi sindrom muntah (emesis).

Cereulide pada dosis tinggi menyebabkan sindrom muntah parah, rhabdomiolisis (kerusakan dan kematian jaringan otot rangka), serta multiorgan failure (kerusakan multiorgan) seperti hati, otak, pankreas, ginjal serta nekrosis pada mukosa usus besar.

Produksi toksin bakteri pada makanan dapat dicegah dengan pemberian pengawet makanan seperti polifosfat.

2. Enterotoksin

Diare karena keracunan makanan pertama kali dilaporkan tahun 1948 ketika terjadi ledakan kasus keracunan makanan di Oslo, Norwegia.

Hasil investigasi menunjukkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh toksin (enterotoksin) yang dihasilkan oleh B. cereus.

Enterotoksin menyebabkan sindrom diare dan kram perut, gejalanya mirip dengan keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri Clostridium perfringens tipe A.

Gejala muncul 8-16 jam setelah mengonsumsi makanan yang tercemar bakteri. Gejala ringan akan hilang dengan sendirinya sekitar 12-24 jam.

Makanan yang mengandung sel bakteri atau endospora bakteri masuk ke sistem pencernaan, selanjutnya bakteri akan menghasilkan toksin di usus halus.

Toksin diproduksi pada fase pertumbuhan antara eksponensial dan stasioner. Dosis infektif bakteri untuk memproduksi toksin adalah 105–108 cfu/g atau 104–109 cfu/g makanan.

Enterotoksin terdiri atas tiga jenis yaitu hemolysin BL (Hbl), non-hemolytic enterotoxin (Nhe) dan single protein cytotoxin K (CytK).

HBL tersusun atas tiga kompleks protein, yaitu L1, L2, dan B yang masing-masing dikode oleh gen hblD, hblC, dan hblA. Berat molekul L1, L2, dan B masing-masing adalah 45, 36, dan 35 kDa.

Uji pada kelinci menunjukkan bahwa enterotoksin Hbl menyebabkan hemolisis (lisis sel darah merah), permeabilitas pembuluh darah, nekrosis kulit dan retina mata serta peradangan.

Selain itu Hbl menyebabkan akumulasi cairan sebagai penyebab diare. Hbl diproduksi oleh sekitar 45-65 persen galur B. cereus.

Enterotoksin Nhe memiliki tiga komponen protein yaitu NheA, NheB, dan NheC, masing-masing dikode oleh gen nheA, nheB, dan nheC dengan berat molekul masing-masing adalah 41; 39,8; dan 36,5 kDa.

Uji Nhe pada sel kultur Vero menunjukkan toksin Nhe bersifat sitotosik. Sekitar 92-100 persen galur B. cereus menghasilkan enterotoksin Nhe.

Hal ini menunjukkan bahwa Nhe merupakan enterotoksin utama pada B. cereus sebagai penyebab sindrom diare.

Enterotoksin Cytotoxin K (CytK) pertama kali diidentifikasi hanya dihasilkan oleh B. cereus galur NVH391/98.

Cytk merupakan toksin yang bersifat sitotoksik, nekrotik dan hemolitik dan menyebabkan wabah keracunan makanan parah di Perancis tahun 1998.

CytK merupakan protein tunggal yang dikode oleh gen cytK. CytK terdiri atas dua bentuk yaitu CytK-1 dan CytK-2 dengan kemiripan urutan asam amino sekitar 89 persen.

CytK-1dan CytK-2 bersifat hemolitik, dermonekrotik (nekrosis kulit) dan membentuk pori pada lapisan lipid. Toksisitas CytK-1 pada sel-sel epitel manusia lebih tinggi dibandingkan CytK-2.

Sekitar 90 persen galur B. cereus menghasilkan toksin CytK yang tahan terhadap panas dan pengaruh deterjen sodium dodecyl sulfate (SDS).

Kontrol pertumbuhan B. cereus

Endospora merupakan struktur khusus yang dihasilkan oleh beberapa bakteri sebagai mekanisme pertahan diri terhadap kondisi lingkungan yang tidak mendukung untuk pertumbuhan bakteri seperti kekurangan nutrisi.

Endospora bakteri tersusun atas lima lapisan, yaitu core (inti), membran dalam atau membran sitoplasma, korteks, membran luar dan pelindung spora (spore coat).

Endospora sangat tahan terhadap panas dan radiasi. Endospora akan tumbuh menjadi sel vegetatif (disebut proses germinasi) jika faktor linkungan mendukung.

Pada beberapa bakteri seperti B. cereus, sel vegetatif dengan jumlah cukup mampu menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan keracunan.

Tahap preparasi makanan yang tidak tepat meningkatkan risiko pertumbuhan bakteri B. cereus pada makanan.

Metode yang benar diperlukan untuk mencegah wabah keracunan makanan yang disebabkan oleh B. cereus.

Beberapa metode efektif untuk mematikan B. cereus yang direkomendasikan oleh National Institutes of Health (NIH), National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), National Food Processors Association (NFPA), dan FDA Food Code 2013, adalah:

  1. Memasak makanan pada suhu ≥ 63 derajat celcius dan memanaskan kembali hingga 74 derajat celcius selama 15 detik untuk menghancurkan sel-sel vegetatif B. cereus
  2. Menyimpan makanan panas pada suhu 57 derajat celcius untuk mencegah pembentukan endospora
  3. Memanaskan makanan hingga suhu 121 derajat celcius selama lebih dari 80 menit untuk menghambat produksi toksin emetik
  4. Mendinginkan makanan dengan cepat setelah dipanaskan pada suhu 5 derajat celcius atau lebih rendah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com