KOMPAS.com - Glaukoma merupakan penyebab kebutaan terbesar kedua di Indonesia setelah katarak. Melakukan pemeriksaan mata secara rutin dapat membuat penyakit ini diketahui sejak dini.
Data WHO pada tahun 2020 menyebutkan, pasien glaukoma di dunia mencapai 79,4 juta penduduk dan di Indonesia mencapai 1,8 juta penduduk.
Pakar kesehatan mata Prof. Dr. dr. Widya Artini Wiyogo, Sp.M(K) mengatakan, penglihatan pasien dengan glaukoma seperti seseorang yang melihat dari celah pintu, di mana pandangan menyempit pada bagian sisi bola mata karena memiliki saraf optik yang rusak.
"Pandangan menyempit, kalau mungkin pernah mengintip dari celah pintu, seperti itu. Karena itu dia disebut pencuri penglihatan," kata dr. Widya pada acara media diskusi bersama RS Spesialis Mata Jakarta Eye Center (JEC) di Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Baca juga: Kenapa Glaukoma Menyebabkan Kebutaan? Berikut Penjelasan Dokter...
Penderita glaukoma cenderung baru menyadari kondisinya ketika sudah mengalami masalah penglihatan.
Gejala awal yang biasanya dirasakan seperti penglihatan buram, melihat pelangi, pusing, mual, muntah, nyeri mata berat, dan tekanan bola mata tinggi mendadak.
“Pasien yang menderita glaukoma akut memiliki waktu 2 x 24 jam untuk segera menurunkan tekanan bola mata, jika terlambat, kelainannya akan menjadi permanen," tuturnya.
Glaukoma merupakan penyakit mata yang tidak boleh diremehkan karena dapat menjadi progresif atau terus memburuk jika tidak ditangani dengan tepat.
Dijelaskan oleh dr.Widya, glaukoma berbeda dengan katarak yang bisa dipulihkan fungsi penglihatannya setelah operasi.
“Berbeda dengan katarak, yang jika dioperasi bisa sehat atau penglihatan kembali seperti baru. Kebutaan akibat glaukoma tidak dapat disembuhkan, tetapi bisa dicegah dengan mengontrol faktor risikonya," ujarnya.
Baca juga: Tanda-tanda Peringatan Katarak yang Harus Diketahui
Secara spesifik penyebab glaukoma adalah meningkatnya tekanan intraokular yang ada di dalam mata karena produksi aqueous humour berlebih.
Aqueous humour adalah cairan alami pada mata yang memiliki fungsi untuk membersihkan kotoran, menjaga bentuk, serta menyuplai nutrisi pada mata.
Ketika penumpukan cairan tersebut terjadi, tekanan pada bola mata akan meningkat dan bisa menyebabkan kerusakan saraf mata yang mendasari terjadinya glaukoma.
“Tekanan bola mata yang tinggi itulah secara perlahan dan seringkali tanpa disadari mengganggu penglihatan, menurunkan ketajaman melihat, hingga kondisi terburuknya bisa menyebabkan kebutaan,” ucapnya.
Ada beberapa hal yang bisa memicu terjadinya glaukoma pada seseorang. Faktor yang paling mempengaruhi adalah genetik dari riwayat anggota keluarga yang terkena glaukoma.
Baca juga: 4 Penyakit Mata yang Harus Diwaspadai Penderita Diabetes
“Kasus penderita glaukoma lebih banyak karena riwayat keluarga, jadi misalnya ada riwayat glaukoma pada ibunya, sebaiknya anaknya juga diperiksa untuk melihat apakah terkena glaukoma atau tidak,” ujarnya.
Faktor risiko penderita glaukoma lain antaranya berusia di atas 40 tahun, memiliki tekanan bola mata tinggi, serta penderita miopia (kacamata minus) dan hipermetropia (kacamata plus) yang tinggi.
Pemakaian steroid lama dan terus menerus seperti terkandung dalam beberapa obat tetes mata, riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, jantung, dan migrain juga menjadi faktor risiko glaukoma lainnya.
Melansir dari Kementerian Kesehatan, pemeriksaan skrining glaukoma secara berkala bisa dilakukan pada:
• Orang dengan usia sebelum 40 tahun: Lakukan skrining setiap 2 - 4 tahun.
• Orang dengan usia sesudah 40 tahun: Lakukan skrining setiap 2 tahun.
• Orang dengan riwayat keluarga memiliki glaukoma: Lakukan skrining setiap 1 tahun.
Baca juga: 6 Nutrisi Terbaik untuk Menjaga Kesehatan Mata
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.