KOMPAS.com - Diet ketogenik merupakan pola makan yang membatasi asupan karbohidrat namun tinggi lemak. Jenis diet ini sudah lama populer di kalangan orang yang ingin menurunkan berat badan.
Ternyata manfaat diet ini tidak terbatas pada penurunan berat badan tapi juga kesehatan mental.
Menurut penelitian terbaru mengurangi asupan karbohidrat ternyata bisa mengurangi gejala gangguan bipolar dan skizofrenia.
Dalam penelitian awal berskala kecil yang melibatkan 21 orang dewasa (16 pasien bipolar, 5 pasien skizofrenia), ditemukan bahwa mereka yang menerapkan pola makan rendah karbohidrat dan tinggi lemak selama empat bulan mengalami perbaikan skor kesehatan mental.
Rata-rata para partisipan juga kehilangan 10 persen berat badan, memiliki tekanan darah yang lebih rendah, pola tidur membaik, serta kepuasan hidup membaik.
Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam Psychiatry Research.
Baca juga: Apakah Diet Keto Efektif untuk Menurunkan berat Badan? Begini Faktanya
Ubah pola makan, ubah kerja otak
Kebanyakan pengobatan gangguan bipolar dan skizofrenia memiliki efek samping resistensi insulin dan kegemukan.
Sebaliknya dengan diet ketogenik yang bisa membantu orang yang mengikuti pola makan ini menurunkan berat badannya.
Diet ini juga terkadang direkomendasikan untuk penderita epilepsi, karena sel otak yang dipicu oleh keton (produk sisa dari lemak) tampaknya kurang berfungsi dibandingkan dengan sel saraf yang dipicu oleh glukosa (produk sampingan karbohidrat).
Untuk itu para peneliti dari Stanford Medicine melakukan studi untuk mengetahui apakah diet keto juga bermanfaat bagi pasien psikiatri sekaligus mengurangi berat badan.
Selama 4 bulan, ke-21 partisipan yang memang memiliki gangguan mental menjalani diet keto. Kemudian di akhir studi mereka dinilai untuk mengetahui skor kesehatan mental dan berat badannya.
"Kami melihat perubahan yang besar. Bahkan pada mereka yang mengonsumsi obat antipsikotik, berat badan, sindrom metabolik, dan juga resistensi insulinnya, bisa diperbaiki. Ini bisa memberi semangat para pasien," kata Shebani Sethi, profesor psikiatri dan ilmu perilaku dari Stanford.
Tidak cuma itu, skor kesehatan mental para partisipan juga membaik. Rata-rata, terjadi perbaikan sampai 31 persen dalam peringkat standar kesehatan mental.
"Para partisipan melaporkan ada perbaikan dalam level energi, pola tidur, mood, dan kualitas hidup. Mereka merasa lebih sehat dan punya harapan besar," katanya.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Xanax, Manfaat, dan Efek Sampingnya untuk Bipolar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.