BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com mengenai upaya Indonesia menanggulangi DBD

Mengenal ASEAN Dengue Day, dari Sejarah hingga Gerakan Nasional Waspadai DBD dari Waktu ke Waktu

Kompas.com - 12/08/2024, 13:22 WIB
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tahukah Anda bahwa 15 Juni merupakan peringatan Hari Demam Berdarah Dengue Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) atau ASEAN Dengue Day? Peringatan tersebut lahir atas komitmen antaranggota ASEAN dalam upaya pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD).

Hingga kini, bahaya DBD masih terus mengintai masyarakat. Penyakit yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti ini dapat menjangkiti siapa saja tanpa pandang usia, status sosial, tempat tinggal, dan gaya hidup seseorang.

Untuk itu, ASEAN Dengue Day dijadikan momentum oleh banyak pihak, mulai dari pemerintah, swasta, hingga industri. Tujuannya, sebagai pengingat sekaligus meningkatkan kesadaran seputar penyakit dengue, pencegahan, serta upaya yang diperlukan untuk mengatasinya. Sayangnya, sebagian masyarakat masih awam terhadap peringatan ini. 

Lantas, bagaimana sejarah peringatan Hari Demam Berdarah Dengue ASEAN atau ASEAN Dengue Day?

Melansir laman Kementerian Kesehatan (Kemkes), Rabu (10/7/2024), Hari Demam Berdarah Dengue ASEAN atau ASEAN Dengue Day digagas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-19 di Hanoi pada 30 Oktober 2010.

Baca juga: Menilik Peran Vaksin dan Inovasi Teknologi Wolbachia dalam Menanggulangi Kasus DBD di Tanah Air

Indonesia memelopori peringatan ASEAN Dengue Day pada 15 Juni 2011. Hal ini diwujudkan lewat Deklarasi Jakarta melawan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang disepakati oleh 11 negara ASEAN guna memperkuat kolaborasi dan komitmen regional dalam upaya pengendalian DBD.

Sejak saat itu, ASEAN Dengue Day diperingati setiap 15 Juni untuk meningkatkan kesadaran masyarakat ASEAN akan bahaya dari demam berdarah.

Untuk diketahui, Tema Hari Demam Berdarah Dengue ASEAN 2024 adalah "Komitmen ASEAN untuk Memerangi Demam Berdarah". Tema tersebut dipilih untuk mendorong setiap negara anggota turut melibatkan masyarakat secara proaktif dalam mengatasi permasalahan DBD. 

Mumpung masih dalam momentumnya, kini saatnya bagi masyarakat mengambil bagian dalam pemberantasan DBD.

Demam berdarah sendiri merupakan penyakit akibat infeksi virus yang ditularkan oleh nyamuk. Dilansir dari laman ASEAN, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa demam berdarah merupakan endemi (penyakit yang berjangkit di suatu daerah) di lebih dari 100 negara.

Baca juga: Tren Peningkatan Kasus DBD dan Langkah Intervensi Inovatif dalam Penanggulangan DBD di Tanah Air

Dari jumlah tersebut, 70 persen kasus demam berdarah datang dari benua Asia. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional yang mewadahi kerja sama antara negara-negara di Asia Tenggara, mendukung ditetapkannya Hari Demam Berdarah Dengue ASEAN.

Dengue menjadi beban

Untuk diketahui, virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus pada dasarnya dapat mengakibatkan dua kondisi, yaitu demam dengue dan demam berdarah dengue atau dikenal sebagai DBD. Keduanya kerap dianggap sama padahal berbeda. Terutama, dari tingkat keparahan gejala dan penanganan yang dilakukan.

Adapun demam dengue bisa menimbulkan gejala yang bervariasi, mulai dari tanpa gejala, hingga demam tinggi disertai sakit kepala, tidak enak badan, mual, atau muncul ruam.

Sementara, demam berdarah dengue adalah demam dengue tingkat lanjut yang dapat menyebabkan gejala berat yang dapat memicu risiko pendarahan hingga kematian.

Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan kasus DBD tertinggi di dunia. Data Kemenkes menunjukkan, sebanyak 42.690 orang terinfeksi DBD dan 317 orang meninggal dunia sepanjang Januari-Juli 2023.

Baca juga: Cegah Peningkatan Kasus Saat Musim Hujan, RSUD Tamansari Jakbar Buka Layanan Vaksin DBD

Bahkan, terjadi lonjakan drastis kasus DBD pada awal 2024. Berdasarkan data Kemenkes, total kasus DBD hingga minggu ke-22 pada 2024 tercatat mencapai 119.709 kasus dengan 777 kematian.

Jumlah tersebut lebih tinggi ketimbang periode sama pada 2023 yang dilaporkan, yakni sebanyak 28.679 kasus dengan 209 kematian.

Pergeseran siklus di tengah perubahan iklim ditengarai sebagai penyebab lonjakan kasus DBD di Tanah Air. Tak hanya berisiko mengancam kesehatan dan nyawa masyarakat, DBD juga menjadi beban ekonomi masyarakat hingga negara.

Dampak sosial akibat DBD terhadap masyarakat tecermin dalam publikasi jurnal PLOS Neglected Tropical Disease yang dirilis pada 2019.

Riset tersebut menunjukkan, beban ekonomi akibat DBD di Tanah Air pada 2015 mencapai 381,15 juta dollar AS atau setara Rp 5,3 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS.

Baca juga: Takeda Siap Produksi Vaksin DBD 50 Juta Dosis Pertahun

Jumlah kasus digunakan dalam studi pada 2015 itu adalah 898.475 pasien rawat inap dan 596.391 rawat jalan. Pada 2015, Kemenkes mencatat, ada 129.650 pasien DBD dan 1.071 korban jiwa.

Beban itu mencakup biaya rawat inap, rawat jalan, dan biaya penunjang lain langsung maupun tak langsung, termasuk transportasi, pendamping pasien, dan produktivitas yang hilang.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Profesor Ali Ghufron Mukti, mengatakan, terjadi kenaikan tajam pembiayaan DBD pada 2022 untuk hospitalisasi dan pengobatan.

"Pembiayaan DBD pada 2021 mencapai Rp 600 miliar, sedangkan 2022 meningkat tajam hingga Rp 1,2 triliun," ujar Ali sebagaimana diberitakan Kompas.com, Rabu (17/1/2024).

Lebih lanjut Ali menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan juga mengeluarkan tambahan dana untuk biaya rumah sakit sebanyak Rp 40 triliun. Biaya tersebut digunakan untuk biaya rumah sakit secara keseluruhan, termasuk DBD. 

Baca juga: Vaksin DBD Tersedia di Indonesia, Begini Syarat untuk Mendapatkannya

Dari pasang kelambu sampai vaksinasi

Seiring dampak buruk DBD bagi kesehatan masyarakat, serta merugikan dari sisi ekonomi, masyarakat tak boleh lelah untuk giat mengingatkan agar program pencegahan dan penanggulangan DBD dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Pasalnya, masyarakat Tanah Air telah bertahun-tahun hidup dengan DBD sehingga perlu upaya kolektif untuk mengatasinya secara efektif.

Hingga saat ini, Indonesia masih berjuang menghadapi demam berdarah dengue. Dari masa ke masa, berbagai upaya pun diwujudkan.

Pada medio 1980, misalnya, pasang kelambu menjadi tren di kalangan masyarakat. Kasur yang terpasang kelambu pun sudah menjadi pemandangan umum di setiap rumah.

Di balik tren tersebut, pasang kelambu merupakan salah satu gerakan nasional yang sempat digaungkan kala itu untuk menanggulangi DBD.

Baca juga: Mengapa Vaksin Demam Berdarah Perlu Dua Dosis

Tak hanya kelambu, sejak 1980, gerakan nasional antisipasi bahaya DBD sudah dijalankan. Hal ini mencakup larvasida, fogging fokus, dan 3M (menutup, menguras, dan mendaur ulang barang bekas), juru pemantau jentik (jumantik), pemberantasan sarang nyamuk (PSN), communication for behavioral impact (COMBI) sampai dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik atau yang dikenal sebagai G1R1J (Sulistyawati, 2020).

Tak berhenti di situ, upaya 3M Plus dan vaksinasi juga digalakkan untuk mencegah DBD, meliputi menguras penampungan air, menutup tempat penampungan air, serta memanfaatkan kembali barang-barang bekas.

Namun, upaya-upaya tersebut tak cukup tanpa disertai upaya inovasi medis agar aksi mitigasi DBD lebih optimal. Lewat inovasi tersebut, ketahanan kesehatan masyarakat dari dalam dapat terwujud. 

Salah satu inovasi medis yang perlu digalakkan untuk mencegah DBD adalah vaksinasi dengue. Vaksin dengue merupakan salah satu strategi nasional Indonesia dalam pencegahan DBD.

Guna mewujudkan ketahanan dan kesehatan masyarakat, vaksin tersebut perlu diberikan pada kelompok masyarakat yang berisiko, termasuk anak-anak. Terlebih, anak-anak usia 5-14 tahun merupakan kelompok dengan persentase kematian tertinggi di Indonesia.

Baca juga: 20 Cara Mencegah Demam Berdarah yang Wajib Diketahui

Sebagai informasi, vaksin dengue sudah tersedia di Indonesia sejak tahun 2016. Namun, yang saat ini tersedia adalah vaksin tetravalen TAK-003, yang berarti melindungi terhadap empat serotipe virus dengue, dan dapat diberikan kepada kelompok usia 6-45 tahun, baik pada individu yang belum ataupun sudah terpapar DBD.

Sementara itu, vaksin dengue yang pernah beredar di Indonesia adalah vaksin dengue CYD-TDV. Kedua vaksin tersebut merupakan jenis vaksin hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccines) yang mengandung empat jenis virus.

Oleh karena itu, bersamaan dengan urgensi DBD serta dampak yang timbul, pencegahan dengan vaksinasi dapat menjadi opsi inovatif bagi masyarakat untuk memberikan perlindungan dari dalam.

Bila perlu, menjadi fokus seluruh pihak, baik pemerintah, praktisi kesehatan, dan pelaku industri kesehatan.

Ingin dapat edukasi lengkap seputar dengue/DBD, baik terkait penyakit maupun tindak pencegahannya? Kunjungi http://www.cegahdbd.com sekarang juga.


komentar di artikel lainnya
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau