INDONESIA kekurangan dokter spesialis bukan satu dua tahun belakangan saja, tapi sudah sejak merdeka jumlah dokter spesialis belum terpenuhi kebutuhannya.
Dalam rasio yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia mencapai 0,47 dari 1.000 penduduk dan berada di peringkat 147 dunia.
Sementara WHO menetapkan rasio dokter spesialis 0,28 berbanding 1.000 penduduk.
Tidak mudah mencetak dokter spesialis. Masa belajar lama dan liku-liku resisdensi jadi tantangan yang dalam. Belum lagi kalau calon dokter spesialis masih menggantungkan ekonomi pada orangtua, banyak pertimbangan sebelumnya.
Akses pasien, keluarga dan masyarakat Indonesia ke dokter spesialis memang tidak mudah. Mendapatkan pelayanan dokter spesialis perlu upaya keras. Terlebih hampir 60 persen dokter spesialis berada di pulau jawa. Ketimpangan distribusi terjadi sudah cukup lama.
Dari seluruh provinsi di Indonesia, hanya Jakarta yang tidak mengalami kekurangan spesialis. Meski spesialis menumpuk di Jawa, tapi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat masih juga kekurangan dokter spesialis.
Kemenkes menyatakan kita kekurangan 30.000 dokter spesialis. Untuk memenuhinya dibutuhkan waktu 10-15 tahun dalam mencetak dokter spesialis.
Bukan pekerjaan mudah memenuhi kebutuhan dokter spesialis di Tanah Air. Seleksi masuk perguruan tinggi sangat kompetitif, waktu pendidikan lama, dan membutuhkan biaya cukup besar yang tidak mudah bagi peserta/keluarga.
Tidak semua dokter umum yang melewati masa internsip melanjutkan jenjang spesialis. Banyak yang mesti dilalui dan menuntut perjuangan serta karakter pantang menyerah mewujudkan sebagai dokter spesialis.
Dengan kapasitas prodi dokter spesialis yang kita miliki sekarang ini rasanya cukup berat menghadirkan dokter spesialis di pelosok pada 2030. Tercatat 21 prodi spesialis dari 92 Fakultas Kedokteran yang bisa memproduksi 2.700 spesialis setiap tahun.
Terdapat pula 420 rumah sakit dari 3.000 rumah sakit menjadi rumah sakit pendidikan. Namun demikian, tidak semua Fakultas Kedokteran maupun rumah sakit memiliki PPDS terkait kondisi atau spesialis tertentu yang dibutuhkan masyarakat.
Pendidikan dokter spesialis dijalani dokter residen bervariasi antara delapan sampai dua belas semester. Sementara pendidikan subspesialis atau konsultan selama empat atau enam semester.
Tiap rumah sakit di daerah (RSUD) minimal mempunyai tujuh dokter spesialis, yaitu penyakit dalam, kandungan, bedah, anak, anastesi, radiologi dan patologi klinis.
Pemerintah upayakan mempercepat produksi dokter spesialis. Jumlah spesialis tidak sebanding dengan jumlah populasi sesuai standar WHO.
Kita sudah menjalankan university based dan mengembangkan hospital based. Apa yang disebut Academic Health System untuk akselerasi dokter spesialis. Di mana Fakultas Kedokteran yang sudah menjalankan akan mendidik Fakultas Kedokteran di luar Jawa membangun prodi dokter spesialis. Membuka prodi dokter spesialis seluasnya.