Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Urgensi Percepatan Dokter Spesialis

Kompas.com - 28/08/2024, 09:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA kekurangan dokter spesialis bukan satu dua tahun belakangan saja, tapi sudah sejak merdeka jumlah dokter spesialis belum terpenuhi kebutuhannya.

Dalam rasio yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia mencapai 0,47 dari 1.000 penduduk dan berada di peringkat 147 dunia.

Sementara WHO menetapkan rasio dokter spesialis 0,28 berbanding 1.000 penduduk.

Tidak mudah mencetak dokter spesialis. Masa belajar lama dan liku-liku resisdensi jadi tantangan yang dalam. Belum lagi kalau calon dokter spesialis masih menggantungkan ekonomi pada orangtua, banyak pertimbangan sebelumnya.

Akses pasien, keluarga dan masyarakat Indonesia ke dokter spesialis memang tidak mudah. Mendapatkan pelayanan dokter spesialis perlu upaya keras. Terlebih hampir 60 persen dokter spesialis berada di pulau jawa. Ketimpangan distribusi terjadi sudah cukup lama.

Dari seluruh provinsi di Indonesia, hanya Jakarta yang tidak mengalami kekurangan spesialis. Meski spesialis menumpuk di Jawa, tapi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat masih juga kekurangan dokter spesialis.

Kemenkes menyatakan kita kekurangan 30.000 dokter spesialis. Untuk memenuhinya dibutuhkan waktu 10-15 tahun dalam mencetak dokter spesialis.

Bukan pekerjaan mudah memenuhi kebutuhan dokter spesialis di Tanah Air. Seleksi masuk perguruan tinggi sangat kompetitif, waktu pendidikan lama, dan membutuhkan biaya cukup besar yang tidak mudah bagi peserta/keluarga.

Tidak semua dokter umum yang melewati masa internsip melanjutkan jenjang spesialis. Banyak yang mesti dilalui dan menuntut perjuangan serta karakter pantang menyerah mewujudkan sebagai dokter spesialis.

Dengan kapasitas prodi dokter spesialis yang kita miliki sekarang ini rasanya cukup berat menghadirkan dokter spesialis di pelosok pada 2030. Tercatat 21 prodi spesialis dari 92 Fakultas Kedokteran yang bisa memproduksi 2.700 spesialis setiap tahun.

Terdapat pula 420 rumah sakit dari 3.000 rumah sakit menjadi rumah sakit pendidikan. Namun demikian, tidak semua Fakultas Kedokteran maupun rumah sakit memiliki PPDS terkait kondisi atau spesialis tertentu yang dibutuhkan masyarakat.

Pendidikan dokter spesialis dijalani dokter residen bervariasi antara delapan sampai dua belas semester. Sementara pendidikan subspesialis atau konsultan selama empat atau enam semester.

Tiap rumah sakit di daerah (RSUD) minimal mempunyai tujuh dokter spesialis, yaitu penyakit dalam, kandungan, bedah, anak, anastesi, radiologi dan patologi klinis.

Pemerintah upayakan mempercepat produksi dokter spesialis. Jumlah spesialis tidak sebanding dengan jumlah populasi sesuai standar WHO.

Kita sudah menjalankan university based dan mengembangkan hospital based. Apa yang disebut Academic Health System untuk akselerasi dokter spesialis. Di mana Fakultas Kedokteran yang sudah menjalankan akan mendidik Fakultas Kedokteran di luar Jawa membangun prodi dokter spesialis. Membuka prodi dokter spesialis seluasnya.

Tenaga spesialis dibutuhkan mengingat rasio spesialis dengan populasi masih rendah, serta peningkatan penyakit tidak menular, komplikatif, kecelakaan kerja dan kecelakaan lalu lintas seringkali menjadi makanan sehari-hari.

Pendidikan dokter spesialis hospital based diharapkan mengatasi masalah jumlah dan distribusi.

Peserta diutamakan putra daerah atau dokter di rumah sakit tersebut. Sehingga penempatan sesuai kebutuhan masyarakat dan biaya pendidikan dikeluarkan juga akan lebih murah.

Peserta didik (residen) tidak dikenakan membayar pendidikan, mereka bekerja di rumah sakit tersebut, dan mempunyai hak (termasuk insentif) seperti nakes yang lain.

Kita mendukung tekad pemerintah dalam upaya mencetak dokter spesialis dalam jumlah yang dibutuhkan secara cepat.

PPDS berbasis rumah sakit pendidikan (hospital based), university based dan Academic Health System diharapkan dapat mengatasi kekurangan dan distribusi dokter spesialis.

Dokter spesialis dari hospital based yang dibiayai negara akan dapat ditempatkan di daerahnya atau di rumah sakit di pelosok Indonesia yang masih kekurangan tenaga dokter spesialis.

Apakah program hospital based dapat menekan aksi bullying di program PPDS yang selama ini ramai dibicarakan dan menghambat produksi dokter spesialis?

Kita belum dapat menduga bagaimana kedepannya. Namun yang pasti Kemenkes berupaya menghadirkan status residen yang sama dengan tenaga medis dan nakes lain yang bekerja di rumah sakit hospital based tersebut.

Residen akan mendapatkan kedudukan sama, mendapat perlindungan kesehatan, perlindungan hukum, jam kerja wajar, dan statusnya bukan pembantu, tapi tim kerja profesional yang memberikan pelayanan di rumah sakit tersebut.

Banyak pihak yang menyatakan kalau bullying sulit dihilangkan karena sudah berlangsung lama dan relasi senior yunior dalam pelaksanaan program PPDS. Relasi senior-yunior sudah berjalan lama dan menjadi karakter PPDS.

Beberapa hal telah diambil dan pemerintah bekerja supaya kejadian negatif dapat dikikis meskipun membutuhkan perjuangan dan waktu tak sedikit.

Kemenkes, Kemendibudristek dan pengampu terkait perlu menghadirkan kondisi optimum sehingga ekosistem bullying tidak hadir dalam pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Kondisi jika tidak berubah menghantui keluarga dokter.

Semoga tidak terlalu lama. Tidak sampai 10 tahun jumlah dokter spesialis kita telah memenuhi standar yang ditetapkan.

Banyak rumah sakit dibangun tanpa dokter spesialis yang sulit didapatkan membuat fasyankes (rumah sakit) menurun di mata masyarakat.

Kualitas pelayanan kesehatan akan meningkat dengan kehadiran dokter spesialis. Kesehatan terjaga dan kematian yang semestinya dihindari dapat dilakukan dengan pendekatan spesialistik, modern dan efektif.

Dalam program JKN, kebutuhan pendidikan dokter spesialis makin mendesak dalam pemenuhan jumlah dan kualitas dokter spesialais.

Kebutuhan dokter spesialis makin dirasakan akhir-akhir ini karena tantangan masalah kesehatan yang terus berkembang hingga pelosok negeri. Pasien dan masyarakat dapat terlayani dengan baik, aman, bermutu, dan berdampak dalam human development index.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau