Oleh : M Zaid Wahyudi
Hingga Minggu (13/5/2012), lima hari sesudah kecelakaan, baru 19 kantong jenazah bisa dievakuasi dari lokasi bencana. Selain itu, ada juga tiga kantong berisi barang- barang milik korban. Saat kecelakaan, pesawat mengangkut 45 penumpang dan awak.
Belum ditemukan jasad seluruh korban ataupun kondisi korban yang tidak utuh membuat proses identifikasi dipastikan butuh waktu lama.
Direktur Eksekutif Komite Disaster Victim Identification (Identifikasi Korban Bencana) Indonesia Komisaris Besar Anton Castilani di Rumah Sakit Polri R Said Sukanto, Jakarta, Sabtu (12/5), menyatakan butuh ketelitian tinggi agar potongan jasad yang diidentifikasi tidak tertukar.
Secara terpisah, Guru Besar Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Agus Purwadianto, mengatakan, pencocokan potongan tubuh korban yang tidak utuh tidak mudah. Terlebih lagi, potongan jasad ditemukan dalam kondisi terpencar.
Karena itu, pencatatan lokasi penemuan potongan tubuh sebelum dimasukkan dalam kantong jenazah akan sangat membantu proses identifikasi.
Dalam kondisi normal, identifikasi korban biasanya dilakukan menggunakan sidik jari. Teknik ini dapat digunakan untuk jasad yang hampir rusak sekalipun asal kondisi jasad utuh.
Jika teknik sidik jari tak dapat digunakan, identifikasi dilakukan dengan teknik forensik odontologi, yaitu menggunakan gigi. Namun, ini mensyaratkan adanya bagian gigi korban yang ditemukan.
Dalam kasus kecelakaan Sukhoi Superjet 100, Agus melanjutkan, satu-satunya harapan identifikasi korban adalah menggunakan uji forensik deoxyribonucleic acid (DNA). ”Keakuratan cara ini dalam menentukan identitas korban bencana mencapai 99,9 persen,” katanya.