KOMPAS.com - Menu Makan Bergizi Gratis (MBG) selama bulan Ramadhan mengalami penyesuaian. Menu yang biasanya terdiri dari nasi dan lauk pauk, selama Ramadhan digantikan dengan makanan dan minuman ringan seperti biskuit dan saset minuman sereal, untuk berbuka puasa.
Keputusan Badan Gizi Nasional untuk mengubah menu dengan masukkan produk ultra-proses itu menuai kritik. Pasalnya, pangan ultra-proses mengandung gula, garam, dan lemak, yang tinggi, yang dianggap kontraproduktif dengan tujuan beberapa program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Program MBG bertujuan meningkatkan status gizi penerima manfaat. Namun, masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak-remaja,” kata Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah S. Saminarsih, dalam keterangan pers.
Diah mengatakan analisis terhadap menu MBG selama bulan puasa ini menunjukkan bahwa komponen pangan ultra-proses yang disajikan memiliki kandungan gula yang tinggi. Misalnya, hanya dari kombinasi dua menu kemasan MBG, yaitu biskuit kering dan sereal instan, bisa menyumbang hingga 18 gram gula.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis di Demak Tetap Berlangsung Selama Ramadhan, Apa Menunya?
“Angkanya mencapai 72 persen kebutuhan konsumsi gula harian anak usia 2-18 tahun (25 gram) menurut standar WHO,” ujar Diah.
Terlebih lagi, berbagai tinjauan sistematis menunjukkan paparan dini terhadap pangan ultra-proses berhubungan erat dengan peningkatan pola makan tidak sehat dan risiko lebih tinggi terhadap obesitas dan penyakit katastropik, seperti penyakit jantung.
Profesor Madya Kesehatan Masyarakat, Grace Wangge PhD, melihat masuknya makanan ultra-proses ini kurang sejalan dengan program pemerintah yang ingin mencegah dan menekan risiko beberapa penyakit kronis, seperti jantung atau diabetes, lewat skrining kesehatan.
"Tapi anak-anak justru diajarkan makan yang berpotensi meningkatkan angka penyakit tersebut di masa mendatang,” katanya.
Sementara itu, Founder Nusantara Food Biodiversity, Ahmad Arif, menyatakan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 juga sudah diamanatkan untuk mempercepat diversifikasi pangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan.
Baca juga: Menu Protein dalam MBG Disesuaikan dengan Ketersediaan Wilayah
“Masuknya produk pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, lemak dalam MBG justru bertentangan dengan upaya pemerintah mencapai tujuan seperti diatur dalam kebijakan tersebut,” kata Ahmad Arif.
Dokter dan ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen mengatakan masuknya produk ultra-proses dalam MBG kontraproduktif dengan upaya intervensi gizi yang sudah dilakukan dalam satu
dekade terakhir.
Pemerintah telah membangun kapasitas teknokratik hingga di level daerah melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Lokal dan Pedoman Gizi Seimbang.
“Tidak hanya kontraproduktif dengan upaya intervensi gizi, masuknya pangan ultra-proses juga berisiko mendisrupsi pemahaman institusi yang sudah terbangun terkait intervensi gizi. Bahkan, komitmen politik pemerintah daerah dalam melahirkan inovasi intervensi berbasis pangan lokal melalui posyandu juga dapat merosot dengan dipilihnya pangan ultra-proses sebagai menu MBG,” ujar Tan Shot Yen.
Menimbang efek domino tersebut, kelompok masyarakat sipil dan akademisi yang peduli pada kesehatan masyarakat dan tata kelola kebijakan mendesak Badan Gizi Nasional untuk segera memperbaiki standar menu MBG dengan memprioritaskan pangan segar lokal, serta mengeluarkan regulasi yang mengatur pembatasan produk ultra-proses dan tinggi gula, garam, lemak dalam program MBG.
Baca juga: Siswa dan Guru Diminta Lapor jika Temukan Makanan Basi Saat MBG
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.