Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/09/2012, 07:52 WIB

Manado, Kompas - Teknologi untuk mendiagnosis dan mengatasi penyakit akibat gangguan pembuluh darah yang terkait otak (neurovaskular) makin berkembang. Kemajuan itu membuat penderita tidak perlu berobat ke luar negeri.

Ketua Kolegium Bedah Saraf Indonesia RM Padmosantjojo dalam Simposium Neurovascular Update di Manado, Rabu (12/9/2012), mengatakan, meski bedah saraf dilakukan di Indonesia sejak tahun 1948, hingga 1980-an operasi yang dilakukan masih sederhana, seperti evakuasi hematoma (pengangkatan gumpalan darah di luar pembuluh darah).

Penyebabnya, jumlah dokter bedah saraf dan ahli pendukung lain, seperti dokter anestesi, terbatas. Alat diagnostik dan laboratorium pendukung kurang memadai. Selain itu, sistem pendanaan untuk operasi yang mahal juga tidak mendukung.

”Kini ada 220 ahli bedah saraf di Indonesia, hampir 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan akhir 1970-an,” katanya.

Penemuan teknik endovaskular, kata Padmosantjojo, membuat operasi makin ringan, tak perlu pembedahan tempurung kepala. Ini membuat waktu perawatan lebih pendek, penanganan lebih cepat dan tepat, serta prognosis (prediksi akhir) penyakit lebih mudah ditegakkan.

Bahkan, kini ada teknologi gamma knife, misalnya di Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang. Menurut dokter spesialis bedah saraf Rumah Sakit MRCCC Siloam, Made AM Inggas, teknik ini tanpa pembedahan terbuka, tetapi menggunakan sinar radiasi. Meski demikian, teknik ini mampu membasmi tumor.

Pasien yang akan menjalani terapi hanya perlu satu hari di rumah sakit dan tak perlu menginap di ruang perawatan intensif (ICU).

Belum ideal

Meski perbandingan dokter bedah saraf dan jumlah penduduk hampir mencapai 1 dokter banding 1 juta penduduk, rasio itu jauh dari cukup. Eka J Wahjoepramono, Kepala Bagian Bedah Saraf RS Siloam Karawaci yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, mengatakan, rasio ideal jumlah dokter bedah saraf dengan jumlah penduduk adalah 1:200.000.

Ahli bedah saraf yang ada masih terkonsentrasi di kota besar. Penyebabnya, kebutuhan dan keberadaan tim pendukung serta peralatan canggih yang digunakan untuk diagnostik dan operasi hanya ada di kota besar. Tanpa kelengkapan itu, sulit bagi dokter bedah saraf bekerja.

Jumlah kasus yang ditangani dokter bedah saraf di Indonesia sangat besar. Hal ini karena pusat-pusat kesehatan yang menangani bedah neurovaskular masih terbatas.

Eka mencontohkan, selama 16 tahun, ia dan timnya sudah melakukan 1.500 pembedahan neurovaskular. ”Universitas Oxford, Inggris, saja selama 40 tahun baru menangani kurang dari 1.000 pembedahan otak,” tuturnya.

Kondisi ini menunjukkan, dokter dan rumah sakit di Indonesia mampu menangani bedah neurovaskular. Pasien tak perlu pergi ke Singapura, Australia, atau Jepang untuk operasi otak. Biaya yang dikeluarkan pasien bisa jauh lebih kecil jika dibandingkan di luar negeri, dengan kualitas yang tidak kalah.

(MZW)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com