Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menemukenali Disleksia Sejak Dini

Kompas.com - 03/08/2010, 09:52 WIB

“Sering kali orangtua terlambat membaca tanda-tanda anaknya yang memiliki potensi mengalami disleksia. Padahal, kalau terdeteksi sejak dini, bisa segera ditangani. Tak jarang orangtua justru denial (menolak)  ketika mendapati sesuatu yang aneh pada anaknya”. (Lia, orangtua yang memiliki anak penyandang disleksia)

KOMPAS.com Anak sulung Lia, Daka, menjadi penyandang disleksia. Ia mengaku cukup terlambat membaca tanda-tanda yang mengikuti perkembangan anaknya. Lia mengaku, ia baru mengetahui kejanggalan pada anaknya saat duduk dia kelas I SD. Saat itu, Daka masih bersekolah di sekolah umum. Namun, ia tergolong telat memiliki kemampuan membaca dan mengalami hambatan dalam berkonsentrasi. Setelah menangkap kejanggalan, ia kemudian membawa anaknya ke seorang psikolog dan menyekolahkan Daka ke sekolah yang khusus menangani penyandang disleksia, SD Pantara, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

“Karena anak saya tidak bisa mengikuti dan gurunya juga tidak mau mengerti bahwa anak saya berkebutuhan khusus, akhirnya saya tarik dari SD umum. Selama sebulan, saya ikut terapi terus-menerus sebelum akhirnya masuk ke SD Pantara ini,” kisah Lia, kepada Kompas.com, di SD Pantara, Jakarta Selatan, Senin (2/8/2010).

Di SD Pantara, perlahan Daka mulai mengalami perkembangan. Sebenarnya, menurut Lia, ada sejumlah tanda atau gejala yang bisa dikenali orangtua sejak dini. Terkadang, tanda-tanda ini dianggap biasa saja oleh orangtua sehingga penanganan anak disamakan dengan anak pada umumnya. Lia sendiri, belakangan baru mengetahuinya. Ia mencontohkan, Daka tidak pernah menangis jika terjatuh, bahkan ketika kepalanya benjut karena terkena sudut lemari. Ternyata, rasa sakit yang tidak dirasakan Daka merupakan pertanda bahwa ada kelainan pada sarafnya.

“Pernah ketika kecil, dia jatuh terkena sudut lemari, padahal benjol besar. Tapi enggak nangis sama sekali. Saya menganggapnya biasa dan justru senang anak laki-laki tidak cengeng. Tapi justru itulah tanda kalau sebenarnya, ada syaraf yang tidak klik seperti orang normal sehingga dia bisa merespons rasa sakit,” kata Lia.

Tanda lainnya, anaknya tergolong lambat berbicara. Daka termasuk penyandang disleksia yang diikuti hambatan berkonsentrasi. Ia mengalami kesulitan dalam mengolah kata menjadi kalimat.

Bagaimana mengenali disleksia? Konsultan Neuropediatri dari Asosiasi Disleksia Indonesia, dr Purboyo Solek, Sp A (K) mengatakan, terlambat mengenali tanda-tanda disleksia pada anak berakibat pada pelabelan yang melekat pada si anak. Bagi guru atau orang yang tidak mengetahui mengenai disleksia, mereka akan memberi cap kepada anak tersebut sebagai anak yang bodoh. Padahal, penyandang disleksia inteligen dalam tingkat yang normal atau bahkan di atas normal. Mereka hanya mengalami kesulitan berbahasa, baik itu menulis, mengeja, membaca, maupun menghitung.

“Kalau terlambat, anak akan terlanjur dilabeli sebagai anak bodoh. Kalau ini terus terjadi, akan menyebabkan si anak putus asa. Akibatnya, dia tidak bisa tampil dengan IQ normalnya,” terang Purboyo.

Ia memaparkan, penyandang disleksia mengalami kesulitan belajar spesifik meski memiliki tingkat kecerdasan normal atau di atas rata-rata. “Kalau IQ di bawah normal, dia bukan disleksia. Mengetahui IQ ini penting karena akan membedakan treatment,” ujarnya.

Ia mengingatkan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan orangtua, di antaranya menyingkirkan adanya kelainan-kelainan perkembangan dan saraf anak, menentukan kemampuan potensi akademik pada anak yang kita duga sebagai anak disleksia, dan memerhatikan ada atau tidaknya gangguan perilaku pada anak tersebut.

Panduan berikut ini mungkin akan memudahkan bagi para orangtua dan guru dalam membaca perkembangan anak dan melakukan deteksi dini atas tanda-tanda disleksia:

1.    Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya 2.    Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya esai 3.    Huruf tertukar tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar ’w’, dan ’s’ tertukar ’z’ 4.    Daya ingat jangka pendek yang buruk 5.    Kesulitan memahami kalimat yang dibaca ataupun yang didengar 6.    Tulisan tangan yang buruk 7.    Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung 8.    Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek 9.    Kesulitan dalam mengingat kata-kata 10.    Kesulitan dalam diskriminasi visual 11.    Kesulitan dalam persepsi spatial 12.    Kesulitan mengingat nama-nama 13.    Kesulitan/lambat mengerjakan PR 14.    Kesulitan memahami konsep waktu 15.    Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan 16.    Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol 17.    Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari 18.    Kesulitan membedakan kanan-kiri 19.    Membaca lambat lambat dan terputus-putus serta tidak tepat misalnya o  Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”, “pada”). o  Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (”menulis” dibaca sebagai ”tulis”) o  Tidak dapat membaca ataupun membunyikan perkataan yang tidak pernah dijumpai o  Tertukar-tukar kata (misalnya: dia-ada, sama-masa, lagu-gula, batu-buta, tanam-taman, dapat-padat, mana-nama)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau